Umbul Sindangkasih

Umbul Sindangkasih

20 April 1641
Bahasa yang umum digunakanSunda Klasik
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Tumenggung 
Sejarah 
• Piagam Sultan Agung Mataram, dekrit yang berisi pengangkatan Ki Somahita sebagai pemimpin Umbul Sindangkasih dan memberikan gelar Tumenggung Tanubaya.
20 April 1641
Mata uangUang emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Sumedang Larang
kslKesultanan
Mataram
Hindia Belanda
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Bagian dari seri mengenai
Sejarah Indonesia
Prasejarah
Manusia Jawa 1.000.000 BP
Manusia Flores 94.000–12.000 BP
Bencana alam Toba 75.000 BP
Kebudayaan Buni 400 SM
Kerajaan Kutai 400–1635
Kerajaan Tarumanagara 450–900
Kerajaan Kalingga 594–782
Kerajaan Melayu 671–1347
Kerajaan Sriwijaya 671–1028
Kerajaan Sunda 662–1579
Kerajaan Galuh 669–1482
Kerajaan Mataram 716–1016
Kerajaan Bali 914–1908
Kerajaan Kahuripan 1019–1045
Kerajaan Janggala 1045–1136
Kerajaan Kadiri 1045–1221
Kerajaan Singasari 1222–1292
Kerajaan Majapahit 1293–1478
Penyebaran Islam 800–1600
Kesultanan Peureulak 840–1292
Kerajaan Haru 1225–1613
Kesultanan Ternate 1257–1914
Kesultanan Samudera Pasai 1267–1521
Kerajaan Kaimana 1309–1963
Kesultanan Gowa 1320–1905
Kesultanan Limboto 1330–1863
Kerajaan Pagaruyung 1347–1833
Kesultanan Brunei 1368–1888
Kesultanan Gorontalo 1385–1878
Kesultanan Melaka 1405–1511
Kesultanan Sulu 1405–1851
Kesultanan Cirebon 1445–1677
Kesultanan Demak 1475–1554
Kesultanan Bolango 1482–1862
Kesultanan Aceh 1496–1903
Kesultanan Banten 1526–1813
Kesultanan Banjar 1526–1860
Kerajaan Kalinyamat 1527–1599
Kesultanan Johor 1528–1877
Kesultanan Pajang 1568–1586
Kesultanan Mataram 1586–1755
Kerajaan Fatagar 1600–1963
Kesultanan Bima 1620–1958
Kesultanan Sumbawa 1674–1958
Kesultanan Kasepuhan 1679–1815
Kesultanan Kanoman 1679–1815
Kesultanan Siak 1723–1945
Kesunanan Surakarta 1745–1946
Kesultanan Yogyakarta 1755–1945
Kesultanan Kacirebonan 1808–1815
Kesultanan Deli 1814–1946
Kesultanan Lingga 1824–1911
Kolonialisme Eropa
Portugis 1512–1850
VOC 1602–1800
Jeda kekuasaan Prancis dan Britania 1806–1815
Hindia Belanda 1800–1949
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional 1908–1942
Pendudukan Jepang 1942–1945
Revolusi Nasional 1945–1949
Kemerdekaan
Hari Patriotik 23 Januari 1942 1942
Revolusi Nasional Indonesia 1945–1949
Masa Kemerdekaan 1945–1949
Republik Indonesia Serikat 1949–1950
Demokrasi Liberal 1950–1959
Demokrasi Terpimpin 1959–1965
Transisi 1965–1966
Orde Baru 1966–1998
Reformasi 1998–sekarang
Garis waktu
 Portal Indonesia
  • l
  • b
  • s

Umbul Sindangkasih adalah wilayah bersejarah pada masa pemerintahan Dipati Ukur (Adipati Wangsanata). Umbul Sindangkasih dipimpin oleh Ki Somahita (Tumenggung Tanubaya), sebuah gelar bangsawan yang diberikan Sultan Agung di Mataram atas jasanya menangkap Dipati Ukur pada tahun 1632 yang dianggap sebagai pemberontak oleh Mataram. Wilayah ini sekarang merupakan bagian dari Kabupaten Majalengka.

Asal-usul Istilah Umbul

Umbul diperkisarakan berasal dari Bahasa Jawa, yang berarti muncul atau mata air.[2][3] Sebagai bagian suatu kewilayahn negara di tanah pasundan atau Parahyangan, Tatar Ukur meliputi Jawa Bagian barat yak dikenal sekarang sebagai Jawa Barat dan tatar Ukur bagian dari Kerajaan Pajajaran. Pembagian wilayah disebut Ukur yaitu setingkat Kabupaten pada zaman modern. Setiap Ukur beribu kota yang disebut Umbul.

Tatar Ukur dibagi dalam sembilan Ukur yang disebut "Ukur Sasanga". Tatar Ukur ini dipimpin oleh Dipati Ukur. Gelar dipati (adipati) adalah gelar bupati sebelum zaman kemerdekaan.[4]

Kata Umbul dapat ditemui dalam Naskah Sunda Kuno Warugan Lemah yang disimpan di Perpustakaan nasional epublik Indonesia dengan nomor inventaris Kropak L-622.[5]

Tata Kota atau pemukiman Sunda kuno dalam Naskah Warugan lemah disebutkan Umbul dan rembul (Lembur). Umbul artinya kota dan Rembul artinya desa. Pengkategorian pemukiman sederhana dengan menyebut 2 kategori saya, kota dan desa. Perkembangan bahasa Umbul menjadi Dayeuh (Portugis menyebutnya Dayo) dan Ibu kota disebut "Puseur Dayeuh".

Dalam pemerintahan Mataram Umul setara dengan Ajeg yang berubah lagi zaman Kolonialisme Belanda dengan sebutan Regentschapen atau Kabupaten.

Umbul Sindangkasih di bawah Dipati Ukur

Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Penyerangan ke Batavia ini gagal.

Dalam Negara Kerta Bumi digambarkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimanapun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dianggap sebagai penghianat dan akan memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun memerintahkan Sultan Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.

Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi Kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita (Tumenggung Tanubaya) dari Umbul Sindangkasih, Ki Astamanggala (Tumenggung Wiraangunangun) dari Umbul Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa (Tumenggung Wiradadaha) dari Umbul Sukakerta.

Atas jasa 3 pemimpin Umbul tersebut diberikan piagam penghargaan sekaligus jabatan. Piagam Sultan Agung Mataram pada tanggal 20 April 1641, yang mengangkat Tumenggung Wiraangunangun sebagai Bupati Bandung. Ki Wirawangsa dari Umbul Cihaurbeuti Resmi diangkat bupati menjadi bupati Sukapura bergelar Wiradadaha I, yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya) Raden Tumenggung Wiradadaha diberi gelar oleh Sultan Agung (Mataram), yaitu Raden Ngabehi Wirawangsa, bupati Sukapura pertama. Tumenggung Tanubaya adalah gelar yang diberikan Sultan Agung Mataram kepada Ki Somahita Umbul Sindangkasih sebagai Bupati Parakanmuncang pertama.

Sultan Agung Mataram membagi-bagi wilayah bekas tatar Ukur dalam beberapa "Ajeg" untuk memudahkan mengontrol wilayah "Mataram Barat". Akibat pemberontakan Dipati Ukur, dalam Piagam Sultan Agung bertanggal 9 Muharam tahun Alip (menurut F. de Haan, tahun Alip sama dengan tahun 1641 Masehi, tetapi ada beberapa keterangan lain yang menyebutkan bahwa tahun Alip identik dengan tahun 1633), daerah Priangan di luar Galuh dibagi lagi menjadi empat kabupaten:

  1. Sumedang (Rangga Gempol II, sekaligus Wedana Bupati Priangan),
  2. Sukapura (Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, bergelar Tumenggung Wiradadaha),
  3. Bandung (Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, bergelar Tumenggung Wiraangunangun),
  4. Parakan Muncang (Ki Somahita Umbul Sindangkasih, bergelar Tumenggung Tanubaya).

Wilayah Priangan kemudian dimekarkan dengan diubahnya Karawang menjadi kabupaten mandiri, sedangkan wilayah Galuh (Priangan Timur) dibagi empat kabupaten: Utama, Bojonglopang (Kertabumi), Imbanagara, dan Kawasen.

Sepeninggal Sultan Agung (1645), Mataram dipimpin oleh anaknya, Sunan Amangkurat I (Sunan Tegalwangi, 1645-1677). Antara tahun 1656-1657, wilayah Mataram Barat (Mancanegara Kilen) dibagi menjadi dua belas ajeg sekaligus menghapus wedana bupati di Priangan: Sumedang, Parakan Muncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh), Sekacé (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), dan Banjar (Panjer).

Umbul Sindangkasih diserahkan ke Cirebon

Umbul Sindangkasih berada di muara Sungai Cideres dan Cijurey di sebelah timur Cimanuk. Wilayah ini bagian dari kabupaten Sumedang dibawah Pemerintahan Prabu Geusan Ulun. Atas kemelut "hati" berkaitan dengan Putri Harisbaya (istri Panembahan Cirebon) akhirnya wilayah Sindangkasih diserahkan kepada pihak Kerajaan Cirebon sebagai gantinya.[6]

Referensi

  1. ^ Henry, Spiller (2008). Focus: Gamelan Music of Indonesia (Focus on World Music Series) 2nd Edition (edisi ke-2). Routledge. ISBN 978-0415960687. Diakses tanggal 13 Maret 2024. 
  2. ^ "Arti Kata Umbul" cariarti.com Diarsipkan 2018-03-27 di Wayback Machine. Diakses 27 Maret 2018
  3. ^ "Arti kata umbul (umbul) dalam kamus Jawa-Indonesia. Terjemahan dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia - Kamus lengkap online semua bahasa". kamuslengkap.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-03-27. 
  4. ^ Nasional., Indonesia. Departemen Pendidikan; (Indonesia), Pusat Bahasa (2008). Kamus besar bahasa Indonesia Pusat Bahasa (edisi ke-Ed. 4). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789792238419. OCLC 320895480. 
  5. ^ Gunawan, Aditia. "Warugan Lemah: Pola Pemukiman Sunda Kuno". 2010. Bandung. Penerbit: Pusat Studi Sunda
  6. ^ E. Rokajat Asura. (September 2011). Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon. Penerbit Edelweiss.

Pranala luar

  1. Sejarah Kabupaten Bandung Diarsipkan 2017-12-01 di Wayback Machine.
  2. Napak Tilas Mengenak Sejarah Tasikamalaya
  3. Sejarah Terbaginya Bandung