Kesultanan Aceh

Kerajaan Aceh Darussalam
Acèh Darussalam
كاورجاون اچيه دارالسلام

1496–1903
Bendera Aceh
Alam Peudeung Mirah
Lambang
Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608–1637)
StatusWilayah protektorat Kesultanan Utsmaniyah (1569–1903)
Ibu kotaBanda Aceh
Bahasa yang umum digunakanAceh, Melayu Tinggi, Arab, Gayo, Alas, Kluet, Minang
Agama
Islam Sunni
PemerintahanMonarki
Sultan 
• 1496–1530
Ali Mughayat Syah
• 1875–1903
Muhammad Daud Syah dari Aceh
Sejarah 
• Pengukuhan sultan pertama
1496
• Perang Aceh
1903
Mata uangdeureuham dan dinar
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Lamuri
kslKesultanan
Samudera Pasai
Hindia Belanda
Sekarang bagian dari Indonesia
 Malaysia
 Singapura
 Thailand
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Bagian dari seri mengenai
Sejarah Indonesia
Manusia Jawa 1.000.000 BP
Manusia Flores 94.000–12.000 BP
Bencana alam Toba 75.000 BP
Kebudayaan Buni 400 SM
Kerajaan Kutai 400–1635
Kerajaan Tarumanagara 450–900
Kerajaan Kalingga 594–782
Kerajaan Melayu 671–1347
Kerajaan Sriwijaya 671–1028
Kerajaan Sunda 662–1579
Kerajaan Galuh 669–1482
Kerajaan Mataram 716–1016
Kerajaan Bali 914–1908
Kerajaan Kahuripan 1019–1045
Kerajaan Janggala 1045–1136
Kerajaan Kadiri 1045–1221
Kerajaan Singasari 1222–1292
Kerajaan Majapahit 1293–1478
Penyebaran Islam 800–1600
Kesultanan Peureulak 840–1292
Kerajaan Haru 1225–1613
Kesultanan Ternate 1257–1914
Kesultanan Samudera Pasai 1267–1521
Kerajaan Kaimana 1309–1963
Kesultanan Gowa 1320–1905
Kesultanan Limboto 1330–1863
Kerajaan Pagaruyung 1347–1833
Kesultanan Brunei 1368–1888
Kesultanan Gorontalo 1385–1878
Kesultanan Melaka 1405–1511
Kesultanan Sulu 1405–1851
Kesultanan Cirebon 1445–1677
Kesultanan Demak 1475–1554
Kesultanan Bolango 1482–1862
Kesultanan Aceh 1496–1903
Kesultanan Banten 1526–1813
Kesultanan Banjar 1526–1860
Kerajaan Kalinyamat 1527–1599
Kesultanan Johor 1528–1877
Kesultanan Pajang 1568–1586
Kesultanan Mataram 1586–1755
Kerajaan Fatagar 1600–1963
Kesultanan Bima 1620–1958
Kesultanan Sumbawa 1674–1958
Kesultanan Kasepuhan 1679–1815
Kesultanan Kanoman 1679–1815
Kesultanan Siak 1723–1945
Kesunanan Surakarta 1745–1946
Kesultanan Yogyakarta 1755–1945
Kesultanan Kacirebonan 1808–1815
Kesultanan Deli 1814–1946
Kesultanan Lingga 1824–1911
Kolonialisme Eropa
Portugis 1512–1850
VOC 1602–1800
Jeda kekuasaan Prancis dan Britania 1806–1815
Hindia Belanda 1800–1949
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional 1908–1942
Pendudukan Jepang 1942–1945
Revolusi Nasional 1945–1949
Kemerdekaan
Hari Patriotik 23 Januari 1942 1942
Revolusi Nasional Indonesia 1945–1949
Masa Kemerdekaan 1945–1949
Republik Indonesia Serikat 1949–1950
Demokrasi Liberal 1950–1959
Demokrasi Terpimpin 1959–1965
Transisi 1965–1966
Orde Baru 1966–1998
Reformasi 1998–sekarang
Garis waktu
 Portal Indonesia
  • l
  • b
  • s
Bagian dari seri artikel mengenai
Sejarah Malaysia
Kemerdekaan Malaya dan proklamasi penggabungan Borneo Utara dan Serawak untuk membentuk Malaysia.
Prasejarah Malaysia
Prasejarah Malaysia sebelum abad ke-6
Kerajaan Awal
Gangga Negara abad ke-2–11
Langkasuka abad ke-2–14
Chi Tu abad ke-2–6
Pan Pan abad ke-3–5
Kedah Tua abad ke-5–9
Pahang Tua abad ke-5–15
Melayu abad ke-6
Srivijaya 650–1288
Majapahit 1293–1500
Kebangkitan Negara-Negara Muslim
Kesultanan Kedah 1136–sekarang
Kesultanan Samudera Pasai 1267–1521
Kesultanan Brunei 1368–sekarang
Kesultanan Malaka 1402–1511
Kesultanan Sulu 1450–1899
Kesultanan Pahang 1470–1623
Kesultanan Aceh 1496–1903
Kesultanan Pattani 1516–1902
Kesultanan Perak 1528–sekarang
Kesultanan Johor 1528–sekarang
Kesultanan Sarawak 1599–1641
Kesultanan Selangor 1745–sekarang
Kerajaan Besut 1780–1899
Kerajaan Setul 1808–1916
Kerajaan Reman 1810–1902
Kerajaan Kubang Pasu 1839–1864
Dinasti Jamalullail 1843–sekarang
Era Kolonial
Malaka Portugis 1511–1641
Perang Belanda-Portugis 1601–1661
Malaka Belanda 1641–1824
Kerajaan Pahang 1770–1881
Negeri-Negeri Selat 1786–1946
Invasi Siam ke Kedah 1821–1826
Perjanjian Inggris-Belanda1824
Perjanjian Burney1826
Perang Naning 1831–1832
Kerajaan Sarawak 1841–1946
Koloni Mahkota Labuan 1848–1946
Perang Saudara Pahang 1857–1863
Peperangan Larut 1861–1874
Perang Klang 1867–1874
Perjanjian Pangkor 1874
Perang Perak1875–1876
Malaya Britania / Borneo 1874–1946
Perang Saudara Jementah 1879
Borneo Utara 1882–1946
Negeri-Negeri Melayu Bersekutu 1895–1946
Perjanjian Inggris-Siam1909
Negeri-Negeri Melayu Tidak Bersekutu 1909–1946
Pertempuran Penang1914
Pemberontakan Kelantan1915
Perang Dunia II

1941–1945
Kampanye Malaya 1941–1942
Kampanye Borneo 1941–1942
Pertempuran Muar 1942
Pembantaian Parit Sulong 1942
Pertempuran Singapura 1942
Sook Ching 1942
Syburi 1942
Pawai Kematian Sandakan 1942–1945
Si Rat Malai 1943–1945
Pemberontakan Jesselton 1943–1944
Era Formatif
AMB Malaya/Borneo 1945–1946
Koloni Mahkota Borneo Utara 1946–1963
Koloni Mahkota Sarawak 1946–1963
Gerakan Anti-penyerahan 1946–1963
Uni Malaya 1946–1948
Federasi Malaya 1948–1963
Kedaruratan Malaya 1948–1960
Perundingan Baling 1955
Kemerdekaan Malaya 1957
Pemerintahan Sendiri Singapura 1959
Pemerintahan Sendiri Borneo Utara 1963
Konfrontasi 1963–1966
Pemerintahan Sendiri Sarawak 1963
Pembentukan Malaysia 1963
Singapura di Malaysia 1963–1965
Deklarasi ASEAN 1967
Pemberontakan Komunis Kedua 1968–1989
Kebijakan Ekonomi Baru 1971–1990
Perjanjian Damai Hat Yai 1989
Era Barisan Nasional
Wilayah Persekutuan KL 1974
Sengketa Pedra Branca 1979–sekarang
Sengketa Laut Tiongkok Selatan (Kepulauan Spratly)
1980–sekarang
Wilayah Persekutuan Labuan 1984
Peristiwa Memali 1985
Operasi Lalang 1987
Krisis Konstitusional 1987–1988
Kebijakan Pembangunan Nasional1990–2000
Visi 2020 1991–2020
Amandemen Kekebalan Kerajaan 1993
Krisis Finansial 1997–1998
Pesta Olahraga Persemakmuran 1998 1998
Gerakan Reformasi 1998–sekarang
Wabah Virus Nipah Malaysia 1998–1999
Pembukaan Menara Kembar 1999
Wilayah Persekutuan Putrajaya 2001
Pandemi H1N1 di Malaysia 2009–2010
Konsep 1Malaysia 2009–2018
Skandal 1MDB 2015–sekarang
Deklarasi Rakyat Malaysia 2016
Era Pakatan-Perikatan
PU14 – Perubahan Pemerintahan 2018
Konflik Air Singapura 2018
Protes ICERD 2018
RUU Status Negara Bagian Borneo 2019
Penurunan takhta Muhammad V 2019
Amandemen Pemungutan Suara18 2019
Visi Kesejahteraan Bersama 2030 2019–2030
Pandemi COVID-19 2020–sekarang
Langkah Sheraton 2020–sekarang
Perintah Kendali Pergerakan 2020–sekarang
Sengketa Sabah 2020 2020
Pemilu Awal Sabah 2020
Keadaan Darurat 2021 2021
Vaksinasi COVID-19 2021–sekarang
Insiden
Pemberontakan Brunei 1962–1966
Sengketa Borneo Utara (Serangan Militan Filipina) 1962–sekarang
Kerusuhan Rasial Singapura 1964
Klaim Limbang Brunei 1967–2009
Kerusuhan Penang Hartal 1967
Insiden 13 Mei 1969
Sengketa Sipadan dan Ligitan 1969–2002
Krisis Polusi Asap Malaysia 1972–sekarang
Krisis Sandera Gedung AIA 1975
Pengeboman Tugu Negara 1975
Kebakaran Kompleks Perbelanjaan Campbell 1976
Kecelakaan Sabah Air GAF Nomad 1976
Insiden MH653 1977
Kedaruratan Kelantan 1977
Serangan Fajar 1981
Penyergapan Lahad Datu 1985 1985
Peristiwa Memali 1985
Kedaruratan Sabah 1986
Peristiwa Ming Court 1987
Kebakaran Madrasah Taufiqiah Al-Khairiah 1989
1989
Badai Tropis Greg 1996
Insiden Al-Ma'unah 2000
Kerusuhan Kampung Medan 2001 2001
Tsunami 2004 di Malaysia 2004
Pembunuhan Altantuyaa 2006
Himpunan Bersih 2007–2016
Himpunan HINDRAF 2007
Rapat Anti ISA 2009
Serangan terhadap Gereja di Malaysia 2010 2010
Himpunan Kebangkitan Rakyat 2013 2013
Himpunan Black-Out 2013
Kebuntuan Lahad Datu 2013
Insiden MH370 2014
Insiden MH17 2014
Banjir Malaysia 2014–15 2014–2015
Gempa bumi Sabah 20152015
Himpunan Martabat Melayu 2015
Serangan granat Movida Bar 2016
Pembunuhan
Kim Jong-nam

2017
Kebakaran Madrasah Darul Quran Ittifaqiyah
2017
Kerusuhan Kuil Sri Maha Mariamman 2018
Protes ICERD 2018
Banjir Malaysia 2020–21 2021
Protes Undi-18 2021
Tabrakan Kereta LRT 2021
Kontrak Dokter Hartal 2021
Banjir Malaysia 2021–2022 2021–sekarang
Per Topik
  • Komunikasi
  • Ekonomi
  • Militer
  • Portal Malaysia
  • l
  • b
  • s


Kesultanan Aceh Darussalam (Aceh: Acèh Darussalam; Jawoë: كاورجاون اچيه دارالسلام) merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (14961903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.[1]

Sejarah

Awal mula

Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.

Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.[2]

Masa Kejayaan

Lukisan Banda Aceh pada tahun 1665 dengan latar istana sultan.

Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh[3] menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.

Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[4]

Tentara Aceh (kiri) bertempur melawan orang Portugis.

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (16071636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.[5]

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

Masa Kemunduran

Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.

Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun 1870-an

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda

Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.

Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (17951824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai di situ, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857–1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[6]

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[4]

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[6]

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra, di mana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerang ibu kota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.

Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, tetapi lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.

Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala itu, Muhammad Daud Syah II, meminta Rusia untuk memberikan status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan membantunya melawan Belanda. Namun, permintaan sultan ditolak Rusia.[7]

Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.[8]

Restorasi

Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia) pada tahun 1907 maka menandakan berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah dibina berabad-abad lamanya. Di akhir tahun 1930-an, berkembang gagasan untuk menghidupkan monarki dengan memulangkan Tuanku Muhammad Daudsyah ke Kutaraja. Belanda tidak menentang secara terbuka gagasan restorasi monarki namun menolak Tuanku Muhammad Daudsyah untuk duduk di singgasana kembali. Sikap Belanda yang demikian membuat pendukung gagasan tersebut mengusulkan Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai pribumi aceh tertinggi di administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon Sultan.

Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar pada masa pendudukan Belanda. Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka pengaruh posisi mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala daerah bisa ditanggalkan. Salah satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang adalah Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di kalangan ulama adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh. Beliau bukan tidak ingin kembalinya kesultanan, melainkan tidak menyukai orang yang akan menduduki tahta batee tabal, yaitu Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud. Tuanku Ibrahim dianggap memiliki akhlak yang kurang baik sedangkan Tuanku Mahmud meski cakap tapi terlalu dekat dengan Belanda.

Kelompok ulama muda terutama yang tergabung dalam PUSA sangat mendukung ide ini. Hal ini dilatar-belakangi banyak di antara mereka yang mengalami kepahitan hidup di bawah kekuasaan para Uleebalang yang hanya tunduk kepada kekuasaan Belanda dan banyak dari uleebalang tersebut bersikap otoriter. Mereka tidak mempunyai tempat untuk mengadukan nasib, karena Belanda senantiasa berpihak kepada Uleebalang. Situasi demikian tidak terjadi jika ada pemerintahan Sultan, setidaknya Sultan berada di bawah bayang-bayang ulama.

Namun demikian ide ini kemudian luntur seiring berkuasanya Jepang di Aceh.[9]

Pemerintahan

Sultan Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903

Sultan Aceh atau Sultanah Aceh adalah penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.

Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.[10]

Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[11]

Perangkat Pemerintahan

Kesultanan Aceh pada masa kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda

Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:

  • Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang aggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
  • Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
  • Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
  • Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
  • Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
  • Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kira-kira Departemen Kehakiman.
  • Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.

Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan di antaranya

  • Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
  • Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
  • Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-kira Menteri Dalam Negeri.
  • Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
  • Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.[12]

Ulèëbalang & Pembagian Wilayah

Keramik dari Fujian pada masa Dinasti Ming, Cina yang dihadiahkan untuk Kesultanan Aceh pada abad ke-17 M

Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah tersebut diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Setiap daerah dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088–1098 H = 1678–1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):

  • Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
  • Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
  • Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).

Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Masjid untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.[13] Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas.[14]

Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.[15]

Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:

Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.

— Sumpah Ulee Balang

Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.[16] Di akhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.

Perekonomian

Salah satu kerajinan logam di Aceh

Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

  1. Minyak tanah dari Deli,
  2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
  3. Kapur dari Singkil,
  4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
  5. Emas di pantai barat,
  6. Sutera di Banda Aceh.

Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan akik yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.[17] Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Prancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh.[6]

Kebudayaan

Arsitektur

Gunongan
Kandang (komplek makam) Sultan Iskandar Tsani

Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.[5]

Kesusasteraan

Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.[15]

Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para Sultan) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606–1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.

Karya Agama

Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.

Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.[12]

Militer

Tiga meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.

Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh.[18] Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.[19]

Foto Bersejarah

Sultan Muhammad Daud Syah, sultan Aceh terakhir bersama pengawalnya.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-27. Diakses tanggal 2007-06-01. 
  2. ^ "Sumatra and the Malay peninsula, 16th century". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-09-05. Diakses tanggal 2011-07-01. 
  3. ^ Hidayati, Noor; Huriyah (November 2021). Ngalimun, ed. Manusia Indonesia, Alam & Sejarahnya. Yogyakarta: K-Media. hlm. 292–293. ISBN 978-623-316-624-9.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  4. ^ a b Reid, Anthony (2011). Menuju Sejarah Sumatra, Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 97–99. 
  5. ^ a b Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 
  6. ^ a b c Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor. 
  7. ^ Egorov, Boris (Mei 04, 2017). "Dari Aceh hingga Alaska: Daerah-daerah yang Hampir Jadi Kekuasaan Rusia". Diakses tanggal 2018-04-09.  Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
  8. ^ Zentgraft, Door H.C. (1938). ATJEH. Batavia: Koninklijke Drukkerij de Unie. 
  9. ^ Sjamsuddin, Nazaruddin. (1999). Revolusi di serambi Mekah : perjuangan kemerdekaan dan pertarungan politik di Aceh, 1945-1949 (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 33–35. ISBN 979-456-187-8. OCLC 43403789.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  10. ^ 20 Tahun Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, Medan: Percetakan Universitas Syiah Kuala. 1980. hlm. 376–377.  Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
  11. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 104. 
  12. ^ a b Hasjmi, Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 130 – 133. 
  13. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 
  14. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 41–42. 
  15. ^ a b Hurgronje, Snouck (1906). The Acehnese, translated by A.W.O. Sullivian. Leiden: B.J. Brill. hlm. 434. 
  16. ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 51. 
  17. ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 87. 
  18. ^ Hartono, Hartono (2023-01-02). "DIPLOMASI ACEH DAN TURKI UTSMANI: KERJA SAMA DAKWAH ISLAM DALAM BINGKAI PERDAGANGAN ABAD XVI-XIX MASEHI". Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. 19 (2): 159–166. doi:10.15575/al-tsaqafa.v19i2.19253. ISSN 2654-4598. 
  19. ^ Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia Josef W. Meri hal. 465 [1]
  • Portal Sejarah Indonesia

Pranala luar

Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Surat Sultan Aceh Ibrahim Mansur Syah Kepada Presiden Prancis
  • (Indonesia) Sejarah bertinta emas pernah terukir di Bumi Aceh Diarsipkan 2011-10-27 di Wayback Machine.
  • (Indonesia) Sejarah Islam di Indonesia di swaramuslim.net Diarsipkan 2008-05-02 di Wayback Machine.
  • (Indonesia) Sedikit Bercerita tentang Atjeh
  • (Indonesia) Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com Diarsipkan 2007-09-27 di Wayback Machine.
  • (Inggris) Bendera-bendera yang digunakan oleh Kesultanan Aceh
  • Johan Wahyudhi (2016) Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI-XVII. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah
  • l
  • b
  • s
Aceh
Bengkulu
Jambi
Lampung
Kepulauan Riau
Riau
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Pengawasan otoritas Sunting ini di Wikidata
Umum
  • VIAF
    • 1
  • WorldCat (via VIAF)
Perpustakaan nasional
  • Amerika Serikat
Lain-lain
  • SUDOC (Prancis)
    • 1