Slamet Rijadi

Informasi pribadiLahir
Soekamto

(1927-07-26)26 Juli 1927
Surakarta, Jawa Tengah, Hindia BelandaMeninggal4 November 1950(1950-11-04) (umur 23)
Ambon, Maluku, IndonesiaOrang tua
  • Raden Ngabehi Prawiropralebdo (ayah)
  • Soetati (ibu)
Penghargaan sipilPahlawan Nasional IndonesiaKarier militerPihakIndonesiaDinas/cabang TNI Angkatan DaratMasa dinas1947—1950Pangkat Brigadir Jenderal TNIPertempuran/perang
  • Serangan Umum Surakarta
  • Invasi Ambon
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Brigadir Jenderal (Anumerta) TNI Ignatius Slamet Rijadi (EYD: Ignatius Slamet Riyadi; 26 Juli 1927 – 4 November 1950) adalah seorang tentara Indonesia. Rijadi lahir di Surakarta, Jawa Tengah, putra dari seorang tentara dan penjual buah. "Dijual" pada pamannya dan sempat berganti nama saat masih balita demi sembuh dari penyakit, Rijadi tumbuh besar di rumah orangtuanya dan belajar di sekolah milik Belanda. Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda, Rijadi menghadiri sekolah pelaut yang dikelola oleh Jepang dan bekerja untuk mereka setelah lulus; ia meninggalkan tentara Jepang menjelang akhir Perang Dunia II dan turut mengobarkan perlawanan selama sisa pendudukan.

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Rijadi memimpin tentara Indonesia di Surakarta pada masa perang kemerdekaan melawan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Dimulai dengan kampanye gerilya, pada 1947 ia berperang dengan sengit melawan Belanda di Ambarawa dan Semarang, bertanggung jawab atas Resimen 26. Selama Agresi Militer I, Belanda mengambil alih kota tetapi berhasil direbut kembali oleh Rijadi, dan kemudian mulai melancarkan serangan ke Jawa Barat. Pada tahun 1950, setelah berakhirnya revolusi, Rijadi dikirim ke Maluku untuk memerangi Republik Maluku Selatan. Setelah operasi perlawanan selama beberapa bulan dan berkelana melintasi Pulau Ambon, Rijadi gugur tertembak menjelang operasi berakhir.

Sejak kematiannya, Rijadi telah menerima banyak penghormatan. Sebuah jalan utama di Surakarta dinamakan menurut namanya, begitu juga dengan fregat TNI AL, KRI Slamet Riyadi. Selain itu, Rijadi juga dianugerahi beberapa tanda kehormatan secara anumerta pada tahun 1961, dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 2007.

Biografi

Kehidupan awal

Rijadi terlahir dengan nama Soekamto di Surakarta, Jawa Tengah, Hindia Belanda, pada tanggal 26 Juli 1927;[1] ia adalah putra kedua dari pasangan Raden Ngabehi Prawiropralebdo, seorang perwira pada tentara Kasunanan, dan Soetati, seorang penjual buah.[2][3] Saat Soekamto berusia satu tahun, ibunya menjatuhkannya; ia kemudian jadi sering sakit-sakitan. Untuk membantu menyembuhkan penyakitnya, keluarganya "menjualnya" dalam ritual tradisional suku Jawa kepada pamannya, Warnenhardjo; setelah ritual, nama Soekamto diganti menjadi Slamet. Meskipun setelah ritual secara formal ia adalah putra Warnenhardjo, Slamet tetap dibesarkan di rumah orangtuanya.[4] Ia menganut agama Katolik,[5] serta dikatakan bahwa sejak kecil Slamet menyukai 'tirakat' berpuasa dan hal-hal 'mistik'".[2]

Slamet umumnya menempuh pendidikan di sekolah milik Belanda. Sekolah dasar dilaluinya di Hollandsch-Inlandsche Schooll Ardjoeno, sebuah sekolah swasta yang dimiliki dan dikelola oleh kelompok agamawan Belanda.[4] Saat bersekolah di Sekolah Menengah Mangkoenegaran, ia memperoleh nama belakang Rijadi karena ada banyak siswa yang bernama Slamet di sekolah tersebut.[6] Saat di sekolah menengah juga ayahnya kembali "membelinya" dari sang paman.[4] Setelah tamat sekolah menengah dan saat Jepang menduduki Hindia Belanda pada tahun 1942, ia melanjutkan pendidikannya ke akademi pelaut di Jakarta. Setelah lulus, ia bekerja sebagai navigator di sebuah kapal laut.[1][7]

Saat tidak bekerja di laut, Rijadi tinggal di sebuah asrama di dekat Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, sesekali ia juga bertemu dengan para pejuang bawah tanah.[8] Pada 14 Februari 1945, setelah Jepang mulai mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II, Rijadi beserta rekannya sesama pelaut meninggalkan asrama mereka dan mengambil senjata; Rijadi pulang ke Surakarta dan mulai mendukung gerakan perlawanan di sana.[9] Ia tidak ditangkap oleh polisi militer Jepang atau unit lainnya selama masa pendudukan, yang berakhir dengan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.[1]

Revolusi nasional

Setelah Jepang menyerah, Belanda berupaya untuk kembali menjajah Indonesia; karena tidak mau dijajah kembali, rakyat Indonesia-pun melawan balik. Rijadi memulai kampanye gerilya melawan Belanda dan dengan cepat memperoleh kenaikan pangkat.[1] Ia bertanggung jawab atas Resimen 26 di Surakarta. Selama Agresi Militer Belanda I, yaitu serangan umum yang dilancarkan oleh Belanda pada pertengahan 1947, Rijadi memimpin pasukan Indonesia di beberapa daerah di Jawa Tengah, termasuk Ambarawa dan Semarang; ia juga memimpin pasukan penyisir di sepanjang Gunung Merapi dan Merbabu.[2]

Pada bulan September 1948, Rijadi dipromosikan dan diserahi kontrol atas empat batalion tentara dan satu batalion tentara pelajar. Dua bulan kemudian, Belanda melancarkan serangan kedua, kali ini menyasar kota Yogyakarta, yang saat itu menjadi ibu kota negara. Meskipun Rijadi dan pasukannya melancarkan serangan terhadap tentara Belanda yang berusaha mendekati Solo melalui Klaten, tentara Belanda akhirnya berhasil memasuki kota. Dengan menerapkan kebijakan "berpencar dan menaklukkan", Rijadi mampu menghalau tentara Belanda dalam waktu empat hari.[2] Setelah itu, Rijadi dikirim ke Jawa Barat untuk melawan Angkatan Perang Ratu Adil bentukan Raymond Westerling.[10]

Setelah perang dan kematian

Rijadi dan pasukannya memasuki Ambon, Desember 1950.
Rijadi (kanan) dan Alexander Evert Kawilarang sedang merundingkan strategi di Ambon.

Tak lama setelah berakhirnya perang, Republik Maluku Selatan (RMS) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Indonesia yang baru lahir. Rijadi dikirim ke garis depan pada tanggal 10 Juli 1950 sebagai bagian dari Operasi Senopati.[10][11] Untuk merebut kembali Pulau Ambon, Rijadi membawa setengah pasukannya dan menyerbu pantai timur, sedangkan sisanya ditugaskan untuk menyerang dari pantai utara. Meskipun pasukan kedua mengobarkan perlawanan dengan sengit, pasukan Rijadi mampu mengambil alih pantai tanpa perlawanan; mereka kemudian mendaratkan lebih banyak infanteri dan kendaraan lapis baja.[12]

Pada tanggal 3 Oktober, pasukan Rijadi, bersama dengan Kolonel Alexander Evert Kawilarang, ditugaskan untuk mengambil alih ibu kota pemberontak di New Victoria. Rijadi dan Kawilarang memimpin tiga serangan; pasukan darat menyerang dari utara dan timur, sedangkan pasukan laut langsung diterjunkan di pelabuhan Ambon. Pasukan Rijadi merangsek mendekati kota melewati rawa-rawa bakau,[12] perjalanan yang memakan waktu selama sebulan. Dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan Rijadi, sering kali membuat mereka terjepit.[13][14]

Setibanya di New Victoria, pasukan Rijadi diserang oleh pasukan RMS. Namun, ia tidak mengetahui akhir pertempuran tersebut. Ketika Rijadi sedang menaiki sebuah tank menuju markas pemberontak pada tanggal 4 November, selongsong peluru senjata mesin menembakinya. Peluru tersebut menembus baju besi dan perutnya. Setelah dilarikan ke rumah sakit kapal, Rijadi bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran. Para dokter lalu memberinya banyak morfin dan berupaya untuk mengobati luka tembaknya, namun upaya ini gagal. Rijadi gugur pada malam itu juga, dan pertempuran berakhir pada hari yang sama.[10][13] Rijadi dimakamkan di Ambon.[10]

Peninggalan

Patung Slamet Riyadi di Surakarta, Jawa Tengah
Patung Slamet Riyadi di kala subuh.

Sejumlah tempat, jalan, dan benda dinamai untuk menghormati Riyadi. Sebuah jalan utama sepanjang 58-kilometer (36 mi) di Surakarta dinamakan sesuai nama sang brigadir jenderal.[15] KRI Slamet Riyadi, sebuah fregat yang dikatakan sebagai salah satu kapal tercanggih yang dimiliki oleh TNI Angkatan Laut, juga dinamai menurut namanya,[16] begitu juga dengan sebuah universitas di Surakarta dan Yayasan Pendidikan Katolik Slamet Riyadi.[17]

Rijadi telah menerima berbagai tanda kehormatan dari pemerintah Indonesia. Ia menerima beberapa medali anumerta, termasuk Bintang Sakti pada bulan Mei 1961, Bintang Gerilya pada bulan Juli 1961, dan Satyalancana Bhakti pada bulan November 1961.[10] Pada 9 November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Rijadi gelar Pahlawan Nasional Indonesia;[18] ia dikukuhkan sebagai pahlawan bersama dengan Adnan Kapau Gani, Ida Anak Agung Gde Agung, dan Moestopo, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2007.[19]

Referensi

Catatan kaki
Daftar pustaka
  • 20 Tahun Indonesia Merdeka. VII. Didigitalkan pada 13 September 2006 oleh Universitas Michigan. Departemen Penerangan R.I. 
  • Ajisaka, Arya; Damayanti, Dewi (2010). Mengenal Pahlawan Indonesia (edisi ke-Revisi). Jakarta: Kawan Pustaka. ISBN 978-979-757-430-7. 
  • Ayuningtyas, Kusumasari (21 December 2011). "Surakarta offers car-free night". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-17. Diakses tanggal 17 Maret 2011. 
  • Conboy, Kenneth (2003). Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces. Jakarta: Equinox. ISBN 978-979-95898-8-0. 
  • Erviani, Ni Komang; Lilley, Lawrence (1 April 2011). "Bali maritime security beefed up following bomb threats". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-03-17. Diakses tanggal 17 Maret 2011. 
  • "Four forgotten independence heroes get official recognition". The Jakarta Post. 11 November 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-03. Diakses tanggal 17 Maret 2011. 
  • Pour, Julius (2008). Ign. Slamet Rijadi. Jakarta: Gramedia. ISBN 978-979-22-3850-1. 
  • "Presiden Anugerahkan Gelar Pahlawan Nasional". Suara Merdeka. 10 November 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-03. Diakses tanggal 17 Maret 2011. 
  • Pringgodigdo, Abdul Gaffar; Shadily, Hassan (1973). "Slamet Riyadi". Ensiklopedi Umum. Kanisius. hlm. 1024–1025. OCLC 4761530. 
  • "Sejarah UNISRI". Universitas Slamet Riyadi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-11-09. Diakses tanggal 12 Desember 2013. 
  • l
  • b
  • s
Politik
Abdul Halim Majalengka · Abdoel Kahar Moezakir · Achmad Soebardjo · Adam Malik · Adnan Kapau Gani · Alexander Andries Maramis · Alimin · Andi Sultan Daeng Radja · Arie Frederik Lasut · Arnold Mononutu · Djoeanda Kartawidjaja · Ernest Douwes Dekker · Fatmawati · Ferdinand Lumban Tobing · Frans Kaisiepo · Gatot Mangkoepradja · Hamengkubuwana IX · Herman Johannes · Idham Chalid · Ida Anak Agung Gde Agung · Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono · I Gusti Ketut Pudja · Iwa Koesoemasoemantri · Izaak Huru Doko · Johannes Leimena · Johannes Abraham Dimara · Kasman Singodimedjo · Kusumah Atmaja · Lambertus Nicodemus Palar · Mahmud Syah III dari Johor · Mangkunegara I · Maskoen Soemadiredja · Mohammad Hatta · Mohammad Husni Thamrin · Moewardi · Teuku Nyak Arif · Nani Wartabone · Oto Iskandar di Nata · Radjiman Wedyodiningrat · Rasuna Said · Saharjo · Samanhudi · Soekarni · Soekarno · Sukarjo Wiryopranoto · Soepomo · Soeroso · Soerjopranoto · Sutan Mohammad Amin Nasution · Sutan Syahrir · Syafruddin Prawiranegara · Tan Malaka · Tjipto Mangoenkoesoemo · Oemar Said Tjokroaminoto · Zainul Arifin
Militer
Kemerdekaan
Revolusi
Pergerakan
Sastra
Seni
Pendidikan
Integrasi
Pers
Pembangunan
Agama
Perjuangan
Abdul Kadir · Achmad Rifa'i · Andi Depu · Andi Mappanyukki · Aji Muhammad Idris · Aria Wangsakara · Baabullah · Bataha Santiago · Cut Nyak Dhien · Cut Nyak Meutia · Depati Amir · Hamengkubuwana I · I Gusti Ketut Jelantik · I Gusti Ngurah Made Agung · Ida Dewa Agung Jambe · Himayatuddin Muhammad Saidi · Iskandar Muda dari Aceh · Kiras Bangun · La Madukelleng · Machmud Singgirei Rumagesan · Mahmud Badaruddin II dari Palembang · Malahayati · Martha Christina Tiahahu · Nuku Muhammad Amiruddin · Nyai Ageng Serang · Opu Daeng Risadju · Paku Alam VIII · Pakubuwana VI · Pakubuwana X · Pangeran Antasari · Pangeran Diponegoro · Pattimura · Pong Tiku · Raden Mattaher · Radin Inten II · Ranggong Daeng Romo · Raja Haji Fisabilillah · Ratu Kalinyamat · Salahuddin bin Talabuddin · Sisingamangaraja XII · Sultan Agung dari Mataram · Sultan Hasanuddin · Teungku Chik di Tiro · Tuanku Imam Bonjol · Tuanku Tambusai · Teuku Umar · Tirtayasa dari Banten · Thaha Syaifuddin dari Jambi · Tombolotutu · Untung Suropati · Zainal Mustafa
Diusulkan · Perempuan · Islam · Kristen · Hindu · Buddha · Kepercayaan asli · Portal Portal Indonesia

Persondata
Nama Rijadi, Slamet
Nama alternatif
Deskripsi singkat Indonesian Army general
Tanggal lahir 26 July 1927
Tempat lahir Surakarta, Central Java, Dutch East Indies
Tanggal kematian 4 November 1950
Tempat kematian Ambon, Maluku, Indonesia