Nuruddin al-Raniri

Nuruddin Muhammad bin Ali
Syekh Nuruddin ar-Raniri
Syekh Nuruddin bin Ali ar-Raniry al-Quraisyi
NamaNuruddin Muhammad bin Ali
Nisbahar-Raniry al-Quraisyi

Syekh Nuruddin Muhammad ibnu 'Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi atau populer dengan nama Syekh Nuruddin Al-Raniri adalah ulama penasehat Kesultanan Aceh pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani (Iskandar II).

Syekh Nuruddin diperkirakan lahir sekitar akhir abad ke-16 di kota Ranir, India, dan wafat pada 21 September 1658. Pada tahun 1637, ia datang ke Aceh, dan kemudian menjadi penasehat kesultanan di sana hingga tahun 1644.

Pengetahuan yang dikuasai

Ar Raniri memiliki pengetahuan luas yang meliputi sufisme, kalam, fikih, hadits, sejarah, dan perbandingan agama.[1] Selama masa hidupnya, ia menulis kurang-lebih 29 kitab, yang paling terkenal adalah "Bustanus al-Salatin".[2] Namanya kini diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama (UIN Ar-Raniry) di Banda Aceh.[butuh rujukan]

Guru

Dia di katakan telah berguru dengan Sayyid Umar Abu Hafs b Abdullah Basyeiban yang di India lebih dikenal dengan Sayyid Umar Al-Idrus adalah khalifah Tariqah Al-Idrus BaAlawi di India.[butuh rujukan] Ar-Raniri juga telah menerima Tariqah Rifaiyyah dari gurunya yang bernama Ahmad ar-Rifa'i

.[3] Selain itu, ia menerima tarekat Qodiriyyah dari guru dia.[butuh rujukan]

Putera Abu Hafs yaitu Sayyid Abdul Rahman Tajudin yang datang dari Balqeum, Karnataka, India pula telah bernikah setelah berhijrah ke Jawa dengan Syarifah Khadijah, puteri Sultan Cirebon dari keturunan Sunan Gunung Jati.[butuh rujukan]

Peranan di Aceh

Ar-Raniri berperan penting saat berhasil memimpin ulama Aceh menghancurkan ajaran tasawuf falsafinya Hamzah al-Fansuri yang dikhawatirkan dapat merusak akidah umat Islam awam terutama yang baru memeluknya.[butuh rujukan] Tasawuf falsafi berasal dari ajaran Al-Hallaj, Ibn 'Arabi, dan Suhrawardi, yang khas dengan doktrin Wihdatul Wujud (Menyatunya Kewujudan) di mana sewaktu dalam keadaan sukr ('mabuk' dalam kecintaan kepada Allah Ta'ala) dan fana' fillah ('hilang' bersama Allah), seseorang wali itu mungkin mengeluarkan kata-kata yang lahiriahnya atau menyimpang dari syariat Islam.[butuh rujukan]

Maka oleh mereka yang tidak mengerti hakikat ucapan-ucapan tersebut, dapat membahayakan akidah dan menimbulkan fitnah pada masyarakat Islam. Karena individu-individu tersebut syuhud ('menyaksikan') hanya Allah sedang semua ciptaan termasuk dirinya sendiri tidak wujud dan kelihatan.[butuh rujukan] Maka dikatakan wahdatul wujud karena yang wajib wujudnya itu hanyalah Allah Ta'ala sedang para makhluk tidak berkewajiban untuk wujud tanpa kehendak Allah.[butuh rujukan] Sama seperti bayang-bayang pada pewayangan kulit.[butuh rujukan]

Konstruksi wahdatul wujud ini jauh berbeda malah dapat dikatakan berlawanan dengan paham 'manunggaling kawula lan Gusti'.[butuh rujukan] Karena pada konsep 'manunggaling kawula lan Gusti', dapat diibaratkan umpama bercampurnya kopi dengan susu—maka substansi dua-duanya sesudah menyatu adalah berbeda dari sebelumnya.[butuh rujukan] Sedangkan pada paham wahdatul wujud, dapat di umpamakan seperti satu tetesan air murni pada ujung jari yang dicelupkan ke dalam lautan air murni. Sewaktu itu, tidak dapat dibedakan air pada ujung jari dari air lautan. Karena semuanya 'kembali' kepada Allah.[butuh rujukan]

Maka pluralisme (menyamakan semua agama) menjadi lanjutan terhadap gagasan begini dimana yang penting dan utama adalah Pencipta, dan semua ciptaan adalah sama—hadir di alam mayapada hanya karena kehendak Allah Ta'ala.[butuh rujukan]

Maka paham ini, tanpa dibarengi dengan pemahaman dan kepercayaan syariat, dapat membelokkan akidah. Pada zaman dahulu, para waliullah di negara-negara Islam Timur Tengah sering, apabila di dalam keadaan begini, dianjurkan untuk tidak tampil di khalayak ramai.[butuh rujukan]

Tasawuf falsafi diperkenalkan di Nusantara oleh Fansuri dan Syekh Siti Jenar.[butuh rujukan] Syekh Siti Jenar kemudian diberi hukuman mati oleh Sunan Giri selaku salah satu anggota Wali Songo di lingkup Kesultanan Demak.[4] Ini adalah hukuman yang disepakati bagi pelanggaran syariat, manakala hakikatnya hanya Allah yang dapat maha mengetahui.[butuh rujukan]

Al-Hallaj setelah dipancung lehernya, badannya masih dapat bergerak, dan lidahnya masih dapat berzikir. Darahnya pula mengalir mengeja asma Allah—ini semua karamah untuk mempertahankan namanya.[butuh rujukan]

Di Jawa, tasawuf falsafi bersinkretisme dengan aliran kebatinan dalam ajaran Hindu dan Budha sehingga menghasilkan ajaran kejawen.[butuh rujukan]

Ronggowarsito (Bapak Kebatinan Indonesia) dianggap sebagai penerus Siti Jenar. Karya-karyanya, seperti Suluk Jiwa, Serat Pamoring Kawula Gusti, Suluk Lukma Lelana, dan Serat Hidayat Jati, sering diaku-aku Ronggowarsito berdasarkan kitab dan sunnah.[butuh rujukan] Namun banyak terdapat kesalahan tafsir dan transformasi pemikiran dalam karya-karyanya itu.[butuh rujukan] Ronggowarsito hanya mengandalkan terjemahan buku-buku tasawuf dari bahasa Jawa dan tidak melakukan perbandingan dengan naskah asli bahasa Arab.[butuh rujukan] Tanpa referensi kepada kitab-kitab Arab yang ditulis oleh ulama ahli syariat dan hakikat yang mu'tabar seperti Syeikh Abdul Qadir Jailani dan Ibn 'Arabi, maka ini adalah sangat berbahaya.[butuh rujukan]

Ar-Raniri dikatakan pulang kembali ke India setelah dia dikalahkan oleh dua orang murid Hamzah Fansuri pada suatu perdebatan umum. Ada riwayat mengatakan dia meninggal di India.[butuh rujukan]

Karya-karyanya

Rujukan

  1. ^ Majid, Abdul (2015-10-11). "Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniry". Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin. 17 (2): 179–190. doi:10.22373/substantia.v17i2.3990. ISSN 2356-1955. 
  2. ^ Musyaffa, Musyaffa (2018). "Pemikiran dan gerakan dakwah syeikh nuruddin ar-raniry". Jurnal Ilmiah Syi'ar (dalam bahasa Inggris). 18 (1): 72–90. doi:10.29300/syr.v18i1.1571. ISSN 2685-2934. 
  3. ^ Munawir (2019). Suheri dan Fitria H., R., ed. 20 Tokoh Tasawuf Indonesia dan Dunia (PDF). Temanggung: CV Raditeens. hlm. 71. ISBN 978-623-7456-30-8.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  4. ^ Syakur, Abd. (2021). Nasih, Ahmad Munjin, ed. Tarekat dan Gerakan Sosial Keagamaan: Dinamika Tarekat Shiddiqiyyah di Indonesia (PDF). Arti Bumi Intaran. hlm. 31–32. ISBN 978-623-6864-20-3.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)

Pranala luar

  • l
  • b
  • s
Ulama Aceh
Abad ke-12
Abad ke-16 M
Abad ke-17 M
Abad ke-18 M
Faqih Jalaluddin  • Baba Daud al-Jawi  • Muhammad Zain al-Asyi  • Teungku di Anjong
Abad ke-19 M
Muhammad Khatib Langgien  • Ismail al-Asyi  • Teungku Chik Tanoh Abee  • Teungku Chik Pante Kulu  • Teungku Chik di Tiro  • Teungku Chik Kuta Karang Sayid Muhammad Yasin  • Sayid Abdurrani Teungku Putik  • Teungku Muhammad Irsyad Ie Leubeu
Abad ke-20 M
Abad ke-21 M
  • l
  • b
  • s
Ulama-Ulama Ahli Fiqih Mazhab Syafi'i
Abad ke-3 H
Imam Asy-Syafi'i (wafat 204 H)  • Imam Ahmad (wafat 241 H)  • Imam Bukhari (wafat 256 H)  • Imam Abu Dawud (wafat 275 H)  • Imam At-Tirmidzi (wafat 279 H)  • Syeikh Juneid al-Bagdadi (wafat 298 H)
Abad ke-4 H
Imam An-Nasa'i (wafat 303 H)  • Abu Hasan al Asy'ari (wafat 324 H)  • Ibnul Haddad (wafat 345 H)  • Ar-Razi (wafat 347 H)  • Ibnul Qathan (wafat 359 H)  • Ibnul Bahran (wafat 361 H)  • Al-Qaffal al-Kabir (wafat 366 H)  • Ad-Daruquthni (wafat 385 H)  • Al-Isma'ili (wafat 392 H)  • Al-Qadhi Al-Jurjani (wafat 392 H)  • As-Susi (wafat 396 H)  • Ibnu Laal (wafat 398 H)
Abad ke-5 H
Al-Lalika'i (wafat 416 H)  • Al-Mawardi (wafat 450 H)  • Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H)
Abad ke-6 H
Imam Al-Ghazali (wafat 505 H)  • Imam Al-Baghawi (wafat 516 H)  • Ibnu Asakir (wafat 576 H)  • Abu Syuja (wafat 593 H)
Abad ke-7 H
Al-Mundziri (wafat 656 H)  • Imam An-Nawawi (wafat 676 H)  • Imam Ar-Rafi'i (wafat 623 H)  • Ibnu Malik (wafat 672 H)  • Al-Baidhawi (wafat 691 H)  • Syaikh Ibrahim ad Dasuqi (wafat 696 H)
Abad ke-8 H
Ibnu Katsir (wafat 774 H)  • Ibnu Daqiq al-Ied (wafat 702 H)  • Quthbuddin asy-Syirazi (wafat 710 H)  • Taqiyuddin as-Subki (wafat 756 H)  • Az-Zarkasyi (wafat 794 H)
Abad ke-9 H
Ibnu Al-Mulaqqin (wafat 804 H)  • Ibnu Ruslan (wafat 844 H)  • Ibnu Hajar Al 'Asqalani (wafat 852 H)  • Jalaluddin al-Mahalli (wafat 864 H)  • Imamul Kamiliyah (wafat 874 H)
Abad ke-10 H
Jamaluddin An-Nasyiri (wafat 911 H)  • Imam As-Suyuthi (wafat 911 H)  • Jalaluddin al-Karaki (wafat 912 H)  • Ibnu Abi Syarif (wafat 923 H)  • Abul Fatah al-Mishri (wafat 963 H)  • Hasanuddin (wafat 964 H)  • Ibnu Qassim al-'Ubaidi (wafat 994 H)  • Mirza Makhdum (wafat 995 H)
Abad ke-11 H
Nuruddin al-Raniri (wafat 1068 H)  • Syamsuddin as-Syaubari (wafat 1069 H)  • Syihabuddin al-Qaliyubi (wafat 1070 H)  • Abdul Birri al-Ajhuri (wafat 1070 H)  • Al-'Urdli (wafat 1071 H)  • Ibnu Jamal al-Makki (wafat 1072 H)  • Al-Qinai (wafat 1073 H)  • Ibrahim al-Marhumi (wafat 1073 H)  • Muhammad al-Bathini (wafat 1075 H)  • Muhammad al-Kurani (wafat 1078 H)  • Ibrahim al-Maimuni (wafat 1079 H)  • Abdul Qadir as-Shafuri (wafat 1081 H)  • Ibnu Jam'an (wafat 1083 H)  • Ibrahim al-Khiyari (wafat 1083 H)  • Al Kurdi (wafat 1084 H)  • 'Al al-Ayyubi (wafat 1086 H)  • Muhammad al-Bakri (wafat 1087 H)  • Abdul Rauf al-Fanshuri (wafat 1094 H)
Abad ke-12 H
Abdullah bin Alawi al-Haddad (wafat 1123 H)  • Muhammad al-Kurani (wafat 1145 H)  • Al 'Ajaluni (wafat 1148 H)  • Hasan al-Bani (wafat 1148 H)  • As-Safar Jalani (wafat 1150 H)  • Ad-Diri (wafat 1151 H)  • As-Suwaidi (wafat 1143 H)  • Zainuddin ad-Dirbi (wafat 1155 H)  • Al-Busthami (wafat 1157 H)  • Athaulah al-Azhari (wafat 1161 H)
Abad ke-13 H
Abdus Shamad al-Falimbani (wafat 1203 H)  • Muhammad Arsyad al-Banjari (wafat 1227 H)  • Al-Yamani (wafat 1201 H)  • Ahmad al-Khalifi (wafat 1209 H)  • Al-Baithusyi (wafat 1211 H)  • At-Takriti (wafat 1211 H)  • Ibnu Jauhari (wafat 1215 H)  • Ad-Damanhuri (wafat 1221 H)
Abad ke-14 H
Abdul Karim Tebuwung (wafat 1313 H)  • Nawawi al-Bantani (wafat 1315 H)  • Ahmad Khatib al-Minangkabawi (wafat 1334 H)  • Muhammad Saad Munqa (wafat 1339 H)  • Syeikh Muhammad Saleh al-Minankabawi (wafat 1351 H)  • Syeikh Khatib 'Ali (wafat 1353 H)  • Muhammad Jamil Jaho (wafat 1360 H)  • Hasjim Asy'ari (wafat 1367 H)  • Abdul Wahid Tabek Gadang (wafat 1369 H)  • Musthafa Husein al-Mandili (wafat 1370 H)  • Dimyathi Syafi'ie (wafat 1378 H)  • Abdul Qadir bin Abdul Mutalib al-Mandili (wafat 1385 H)  • Al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (wafat 1388 H)  • Habib Salim bin Djindan (wafat 1389 H)  • Sulaiman ar-Rasuli (wafat 1390 H)  • Abdul Wahab Hasbullah (wafat 1391 H)  • Al-Habib Ali bin Husein al-Attas (wafat 1396 H)
Abad ke-15 H
Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani (wafat 1410 H)  • Muhammad Zaini Abdul Ghani (wafat 1426 H)  • Al-Habib Munzir bin Fuad al-Musawa (wafat 1434 H)  • Sahal Mahfudz (wafat 1435 H)  • Wahbah al-Zuhayli (wafat 1436 H)
Cetak tebal adalah yang sangat terkemuka di zamannya, metode penentuan abad seorang ulama dengan tahun kematiannya, Lihat Panduan Penggunaan