Tauh Lempur

Tauh Lempur adalah bentuk kesenian tari yang berkembang di Kabupaten Kerinci, Jambi. Penamaan Tauh Lempur sebenarnya berasal dari kata "Tauh" dan "Lempur", Tauh (masyarakat setempat juga terkadang menyebut dengan Kesenian Tauh) adalah tarian yang biasa ditarikan masyarakat sebagai bentuk rasa syukur menyambut masa panen sawah dan ladang (kenduri sko habis tuai), sedangkan Lempur adalah desa di Kabupaten Kerinci tempat kesenian ini berkembang. Selain ditampilkan untuk menyambut masa panen, Tauh Lempur juga sering ditampilkan sebagai rasa terima kasih kepada leluhur yang dipercaya menjaga desa dari bencana seperti banjir dan kekeringan, hingga penyambutan tamu, dan pengisi acara pada acara-acara yang diadakan pemerintah daerah.[1]

Sejarah

Menurut sejarah, Tauh telah ditarikan setidaknya sejak tahun 1817 (sejak zaman Pamuncak) bersamaan dengan asal-usul terbentuknya Desa Lempur.

Jalannya Tarian

Tarian Tauh yang ditujukan dalam untuk menyambut tamu berbeda dengan yang diadakan untuk pesta panen. Untuk pesta penyambutan tamu, Tauh biasanya ditarikan oleh delapan orang penari dengan gerakan tari yang telah ditentukan, para penari ini mengenakan pakaian adat Lempur yang berwarna hitam dan coklat tua, kain sarung, serta mengenakan penutup kepala (kuluk kecipung) yang berhiaskan perak untuk menimbulkan kesan penyambutan dan penghormatan bagi tamu yang datang.

Sedangkan dalam pesta panen, Tauh tak memiliki penari tetap. Kesenian Tauh lebih diarahkan untuk mengajak penonton yang hadir untuk ikut menari, gerakan tari dalam pesta panen bisa ditarikan lebih dari 20 penari dan tak perlu memakai pakaian khusus melainkan memakai baju sehari-hari.

Gerakan umum dalam Tari Tauh meliputi elang beperang, samang bejabat, seleudang di balek batu, dan kedidi mudik kaaie. Tarian diiringi dengan musik tradisional, awalnya menggunakan gendang bambu, namun saat ini lebih umum diiringi dengan gendang Dap/Redap dua buah yang dimaikan oleh dua orang, gong, dan nyanyian dengan lirik bahasa setempat yang biasa disebut Mantau. Nyanyian tersebut biasanya berisi hukum atau ketentuan adat setempat. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat Lempur selalu ingat akan ketentuanketentuan adat yang ada telah telah diyakini dari dulu hingga sekarang, dari generasi ke generasi berikutnya.[1]

Referensi

  1. ^ a b Dwiari Ratnawati, Lien (2018). Penerapan Budaya Takbenda Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan, Kementrian Pendidikan Kebudayaan RI.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)