Tari Silampari Kahyangan Tinggi

bendungan) buatan kolonial Belanda di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Silampari berasal dari bahasa Palembang, Silam yang berarti “hilang” dan pari yang berarti “peri”; Kahyangan berarti “udara atau langit”; dan Tinggi berarti “tinggi”. Penjelasannya bahwa tari Silampari Kahyangan Tinggi adalah tarian yang terinspirasi dari cerita rakyat Dayang Torek dan Bujang Penulup. Tarian ini bercerita tentang seorang perempuan yang menjadi peri dan menghilang (silam), sehingga disebut Silampari (peri atau bidadari yang menghilang). Untuk tarian ini, Kota Lubuklinggau mengambil cerita Dayang Torek; dan Kabupaten Musi Rawas mengambil sumber Cerita Bujang Penulup.[1]

Cerita tarian ini mirip dengan cerita Jaka Tarub, bedanya hanya dalam penyimpanan selendangnya. Jika dalam cerita Jaka Tarub, selendang disimpan di dalam lumbung padi, sedangkan dalam cerita tari Silampari Kahyangan Tinggi diletakkan di dalam tanah dapo (dapur). Setelah beberapa kali peri membujuk suaminya, akhirnya suaminya mau memberikan selendangnya kepada peri, sesaat kemudian peri menari terus-menerus di depan suami dan anaknya. Selama menari sang peri mencium anaknya terus menerus hingga badannya naik ke atas, semakin tinggi dan akhirnya menghilang. Inilah asal mula tarian ini diberi nama tari Silampari Kahyangan Tinggi. Tarian ini awalnya hanya diiringi dengan kendang dan gong kecil, seiring berkembangnya zaman terdapat musik pengiring lainnya.

Tari Silampari Kahyangan Tinggi ditampilkan untuk menyambut tamu agung, disertai dengan penyuguhan tepak, yaitu tempat berbentuk kotak yang berisi lima bahan utama untuk menginang. Tepak melambangkan kehormatan kepada tamu agung ini berisi sirih, kapur, gambir, pinang, dan tembakau. Sekapur sirih ini disuguhkan oleh salah satu dari 7 penari, yaitu pembawa tepak bersama lelaki pendamping yang berada di belakang yang menyuguhkan sirih kepada tamu agung dengan berjalan perlahan dilengkapi dengan seorang penyanyi.

Tari ini dibawakan oleh enam orang perempuan dan satu laki-laki. Lubuklinggau, juga dikenal sebagai Silampari, dikenal sebagai kota transit. Hal ini tidak menyurutkan generasi muda Lubuklinggau untuk melestarikan budayanya mereka sendiri.[2]

Rujukan

  1. ^ Dwiari Ratnawati, Lien (2018). Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2018. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 37. 
  2. ^ Okezone (2013-11-23). "Legenda Tari Silampari dari Putri yang Diculik : Okezone Lifestyle". https://lifestyle.okezone.com/. Diakses tanggal 2019-09-22.  Hapus pranala luar di parameter |website= (bantuan)