Penyakit tumbuhan di Indonesia

Penyakit tumbuhan di Indonesia menyerang beragam jenis tanaman pada komoditas perkebunan. Dua jenis penyakit tumbuhan yang dialami oleh tumbuhan di Indonesia yaitu antraknosa dan bercak daun. Kasus penyakit tumbuhan di Indonesia ada yang bersifat epidemi dari negara-negara di Asia Selatan. Indonesia mematuhi kewajiban pengelolaan rekaman organisme pengganggu tumbuhan untuk menjaga kesehatan tanaman dari penyakit tumbuhan.

Jenis penyakit

Antraknosa

Antraknosa paling sering terjadi di Indonesia pada jenis pertanaman cabai dan bawang merah. Pada musim hujan antraknosa mampu menimbulkan kerugian sebesar 20 sampai 90% pada cabai. Penyakit antraknosa disebabkan oleh dua spesies fungi, yaitu Colletotrichum capsici Sydow dan C. gloeosporioides Pens. Gejala yang timbul adalah penyusutan ukuran buah hingga mengering. Kerugian akibat penyakit ini mencapai hingga 20-90 % terutama pada saat musim hujan.[1]

Bercak daun

Bercak daun merupakan penyakit tumbuhan yang disebabkan oleh fungi dari spesies Alternaria brassicae. Penyebaran Alternaria brassicae menyebar luas di wilayah tropis termasuk Indonesia. Jenis tanaman yang diserang penyakit bercak daun dari genus Alternaria yaitu tomat, kentang, kacang tanah, tembakau, geranium, apel, bawang dan jeruk lemon. Kemunculan penyakit bercak daun dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Pada musim hujan, bercak daun timbul pada tanaman dengan intensitas serangan yang sering.[2]

Epidemi

Epidemi penyakit tumbuhan dengan skala lingkungan makro pernah terjadi di Indonesia. Kasus pertama adalah penyakit karat daun oleh Hemileia vastatrix pada tahun 1845. Penyakit ini menyebar melalui spora dari Sri Lanka dengan jarak sangat jauh hingga ke perkebunan kopi arabika di Indonesia dan merusaknya. Jarak penyebaran ini merupakan akibat dari pemancaran spora hingga ketroposfer setinggi 16–18 km di atas permukaan laut. Kemudian pada tahun 1944 hingga 1945, India menjadi negara pemulai epidemi penyakit cacar daun teh oleh Exobasidium vexans. Penyebaran penyakit mengarah ke Sri Lanka dan mencapai Sumatera Utara hingga ke Jawa.[3]

Kebijakan

Pengelolaan rekaman organisme pengganggu tumbuhan

Pengelolaan rekaman organisme pengganggu tumbuhan merupakan suatu ketetapan yang diwajibkan kepada Indonesia. Kewajiban ini sesuai dengan ketetapan Perjanjian tentang Penerapan Tindakan Sanitari dan Fitosanitari dan Konvensi Perlindungan Tanaman Internasional. Dalam kedua konvensi ini, Indonesia termasuk salah satu negara pesertanya. Pemberlakuan kewajiban ini kepada negara-negara pengekspor komoditas. Pengelolaan rekaman organisme pengganggu tumbuhan merupakan bagian dari pemberian informasi teknis dan biologi kepada negara pengimpor komoditas. Bentuk pengelolaannya adalah dengan mengelola dan membuat koleksi organisme pengganggu tumbuhan yang dapat dimanfaatkan dalam analisis risiko hama. Pengelolaan ini memberikan jaminan kesehatan atas tanaman dari penyebaran suatu organisme pengganggu tumbuhan.[4]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Sutarman 2017, hlm. 94.
  2. ^ Sutarman 2017, hlm. 90-91.
  3. ^ Suniti, Ni Wayan (2016). Buku Ajar Epidemiologi Penyakit Tumbuhan (PDF). Denpasar: Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Udayana. hlm. 2.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  4. ^ Badan Karantina Pertanian (2009). Pedoman Pembuatan dan Pengelolaan Koleksi Penyakit Tumbuhan (PDF). Pusat Karantina Tumbuhan, Badan Karantina Pertanian, Departemen Pertanian. hlm. 1.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)

Daftar pustaka

  • Sutarman (2017). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tanaman (PDF). Sidoarjo: UMSIDA Press. ISBN 978-979-3401-49-2.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)