Pengungsi iklim

Pengsungi iklim di Bangladesh

Pengungsi Iklim adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang/sekelompok orang yang terpaksa ber-migrasi dari tempat tinggal mereka akibat dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Dampak yang dimaksud yang dapat menimbulkan orang/sekelompok orang berpindah tempat tinggal termasuk antara lain peningkatan suhu regional, perubahan pola hujan, perubahan durasi dan pola musim panen, peningkatan permukaan air laut, dan/atau peristiwa cuaca ekstrim. Pengungsi iklim dapat meninggalkan tempat tinggal mereka secara sementara maupun permanen, bergantung pada kondisi pemulihan lingkungan, adanya tempat tinggal yang tersedia di tempat tinggal asli, dan/atau kondisi finansial. Migrasi yang dilakukan oleh pengungsi iklim dapat melewati batas administratif daerah maupun batas politik/negara. Hingga saat ini, istilah pengungsi iklim masih menjadi perdebatan antara para ahli dan/atau pakar iklim akibat ketidakhadiran istilah tersebut pada perjanjian internasional/hukum internasional serta perdebatan korelasi pola migrasi manusia dengan dampak perubahan iklim.

Contoh kasus

Kasus pencari suaka akibat fenomena krisis iklim dapat diperparah karena ketidaksiapan aturan hukum internasional untuk menangani masalah ini. Beberapa perjanjian internasional, misalnya mengenai definisi "pengungsi" dan "negara", belum mencakup aspek ancaman krisis iklim yang dapat menghilangkan teritorial negara tertentu.

Longsor Pulau Serasan

Bencana longsor di Pulau Serasan, Kabupaten Natuna, pada tanggal 6 Maret 2023 merupakan bencana terburuk sepanjang sejarah Provinsi Kepulauan Riau. Bencana ini diakibatkan oleh hujan lebat sangat tinggi selama 12 hari berturut-turut, hingga menyebabkan tanah di lereng bukit tak kuat dan terjadi tanah longsor.[1] Kalangan akademisi telah mendesak pemerintah untuk tak hanya mengkategorikan bencana ini sebagai bencana alam, melainkan mengkategorikannya sebagai bencana iklim. Parid Ridwanuddin, manajer kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi berpendapat bahwa bencana iklim di Serasan Natuna merupakan tanda untuk meningkatkan kewaspadaan pada pulau-pulau kecil dan pesisir Indonesia. Meskipun pulau-pulau kecil seperti itu sangat rentan terdampak bencana iklim dibandingkan pulau besar, tetapi pemerintah sampai saat ini tidak memiliki peta jalan perlindungan pulau-pulau besar dari bencana iklim. [1]

Yang ada pemerintah umbar izin tambang, perkebunan skala besar di pulau-pulau kecil, ini bahaya besar
— Parid Ridwanuddin, manajer kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi

Sebagai dampak dari bencana ini, ratusan pengungsi memilih untuk pindah ke Pulau Natuna Besar dan Pulau Bintan menggunakan kapal motor pada Dermaga Pos Lintas Batas Negara, Pulau Serasan, Natuna, Kepulauan Riau. [2]

Pengungsi Internal

Penduduk yang mengungsi dan berpindah tempat tinggal karena bencana alam atau krisis lainnya di dalam negeri didefinisikan sebagai pengungsi internal (internally displaced people). Indonesia termasuk negara dengan jumlah pengungsi internal sangat besar. Berdasarkan data lembaga Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC), Indonesia masuk dalam sepuluh negara dengan jumlah pengungsi internal terbanyak di dunia sepanjang satu dekade terakhir.[2]

Laporan organisasi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2022 tentang "Impacts, Adaption and Vulnerability" menunjukkan ada lebih dari 20 juta jiwa yang menjadi pengungsi internal sejak tahun 2008. IPCC memperkirakan sekitar 709 juta jiwa hidup di wilayah yang mengalami kenaikan curah hujan secara drastis, sedangkan 86 juta jiwa lainnya berada di wilayah yang mengering sejak tahun 1950. [2]

Kajian pengungsi internal karena krisis iklim oleh Bank Dunia pada tahun 2021 memperkirakan bahwa setidaknya 216 juta penduduk dunia akan tergusur dari tempat tinggalnya pada tahun 2050.[2] Tiga wilayah paling berisiko terhadap fenomena ini adalah Sub-Sahara Afrika, Asia Timur dan Pasifik, serta Asia Selatan. Dari berbagai lokasi di permukaan bumi, Sub-Sahara Afrika menjadi wilayah paling berisiko terdampak krisis iklim. Selain Afrika, gelombang pengungsi internal diperkirakan juga akan melanda Asia Timur dan Pasifik -- yang di dalamnya terdapat Indonesia, akibat kerusakan ekologi masif di area-area pesisir.

Hak Pengungsi menurut Undang Undang di Indonesia

Undang Undang No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan pengungsi sebagai orang-orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu tertentu akibat dampak buruk bencana. Pemenuhan hak mereka dilakukan secara adil dan sesuai standar pelayanan umum, di bawah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah Indonesia mencatat pengeluaran berkisar Rp 3,8 triliun setiap tahunnya untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.[2]

Berdasarkan Peraturan BNPB No 3/2018, hak pengungsi mencakup : pemberian upah kerja bagi yang dipekerjakan, pemberian santunan, pengembalian hak status kependudukan dan politik, peng urusan dokumen hilang, bantuan dana stimulan perbaikan rumah, bantuan dana penggantian bibit tanaman dan ternak, serta bantuan biaya sewa rumah dan lahan usaha.[2]

Kasus Teitiota dan Selandia Baru

Ioane Teitiota, seorang warga negara Kiribati, mengajukan suaka sebagai pengungsi iklim di Selandia Baru bersama keluarganya karena terpaksa meninggalkan negara asalnya yang sangat terdampak oleh fenomena kenaikan air laut dan kualitas tanah yang buruk.[3] Namun, upayanya ditolak pengadilan karena definisi "pengungsi" yang ada dalam aturan pengungsi internasional tidak memuat faktor perubahan iklim ataupun bencana alam. Misalnya, pada pasal 1 ayat 2 "Konvensi Pengungsi 1951", pengungsi hanya didefinisikan sebagai mereka yang mengalami "... persekusi karena alasan - alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik ..."

Menanggapi penolakan ini, Teitiota membawa kasus ini ke Komisi HAM PBB. Namun lagi-lagi, Komite HAM PBB menolak argumen Teitiota. Meski demikian, Komite tersebut menyepakati argumen bahwa suatu negara tidak boleh mendeportasi warga negara lain yang bermigrasi karena dampak perubahan iklim.[3]

Kasus Maumoon Abdul Gayoom dan Maladewa

Menurut pada Konvensi Montevideo 1993 tentang Hak dan Tugas Negara, ada empat unsur yang harus dimiliki suatu negara, yaitu : penduduk tetap, wilayah yang ditentukan, pemerintahan dan kemampuan untuk menyelenggarakan hubungan internasional. Namun jika negara-negara berbasis pulau kecil kehilangan wilayahnya akibat perubahan iklim, bukan akibat perubahan politik seperti yang selama ini terjadi, keberadaan negara mereka dapat dipertanyakan menurut hukum internasional. Pada 1987, Presiden Maladewa Maumoon Abdul Gayoom pertama kali mengangkat isu ini di level internasional.[3]

"Pasti ada jalan keluarnya. Baik Maladewa maupun negara pulau kecil mana pun tidak ingin tenggelam. Itu sudah pasti. Kami juga tidak ingin tanah kami terkikis atau ekonomi kami hancur. Kami juga tidak ingin menjadi pengungsi lingkungan. Kami ingin berdiri dan berjuang"
— Maumoon Abdul Gayoom, Presiden Maladewa 1978 -2008

Untuk merespon isu ini, para ahli hukum internasional masih memperdebatkan apakah konvensi internasional yang ada saat ini mampu menangani isu perubahan iklim dan kenaikan muka air laut.

Referensi

  1. ^ a b Yogi Eka Sahputra (2023) Belajar dari Bencana di Pulau Serasan Natuna, Waspadai Longsor Susulan Mongabay
  2. ^ a b c d e f Yoesep Budianto (2023) Meningkatnya Pengungsi Seiring Memburuknya Iklim Global Kompas
  3. ^ a b c Rafika Ramli (2022) "Perubahan iklim bisa ciptakan gelombang massal pengungsi, tapi keberadaan mereka belum diakui hukum internasional The Conversation