Panjidur

Panjidur atau Panjidor, merupakan kesenian rakyat dari Dusun Jambon, Desa Donomulyo, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo.[1] Kesenian tradisonal ini berdiri pada tahun 1948. Sastrodiwiryo adalah inisiator dalam terciptanya kesenian Panjidur.[1] Kesenian tradisional ini berupa tarian yang awalnya adalah kumpulan ragam gerak yang sederhana. Iringan musiknya sangat sederhana yang dikolaborasikan dengan lantunan syair atau singir yang berisikan kiasan-kiasan tentang nilai-nilai agama Islam dan nilai-nilai moral. Dahulu, kesenian ini berfungsi sebagai sarana dakwah, tetapi pada tahun 1980 fungsi itu berubah menjadi fungsi sosial dan seni pertunjukan rakyat. Karena perkembagan zaman tak bisa dihindari, hal ini berpengaruh kepada masyarakat. yang lebih mendahulukan aspek-aspek estetika dan kebutuhan dinamika kesenian. Pada tahun 1960, aktivitas kesenian tradisional ini sempat berhenti hingga tahun 1970, dikarenakan situasi politik di Indonesia. Kemudian setelah tahun 1975, kesenian ini kembali hidup dengan gaya yang baru.


Rangkaian pertunjukan

Kesenian rakyat Panjidur, disadur dari cerita serat menak, yang bercerita tentang Amir Ambyah dalam lakon ini sering juga disebut Wong Agung Jayengrana. Mempunyai dua komandan prajurit andalannya, yakni Umarmaya dan Umarmadi.[2] Digambarkan Umarmaya dan Umarmadi sedang melatih prajuritnya dalam olah keterampilan berperang. Para prajurit yang sedang berlatih tersebut memakai kostum seperti tentara, dengan pakaian celana hitam, kain, ikat pinggang, sarung tangan warna putih, baju putih lengan panjang, lengkap dengan aksesori pangkat, topi pet, dan kacamata hitam. Ragam gerak para prajurit itu dikembangkan menjadi suatu pola tari yang mempunyai simbol dan makna. Sehingga, walaupun sesederha, ragam gerak tersebut memberikan aksen-aksen semakin dinamis. Pola lantainya pun dikembangkan tidak lagi sejajar dan berbaris, tetapi bisa menjadi diagonal, lingkaran, pecah, dan rakit. Kebutuhan properti, meliputi senapan yang terbuat dari kayu yang bisa dibawa dan diputar, serta bisa memberi kesan tembakan seperti senapan yang utuh. Sedangkan untuk perlengkapan alat musiknya antara lain, kendang, bedug, rebana, dan perkembangannya memakai drumset. Dengan diiringi rampak tetabuhan musik hadrah yang bernuansa Islami. Alunannya terdengar lirih, tetapi terkadang juga bisa cepat dan keras beriringan mengikuti tabuhan rebana bersama jidor, dan stambul yang saling berganti. Jumlah penari, biasanya mencapai 20 orang, yang diperankan oleh laki-laki.[3] Kesenian Panjidor ditampilkan di malam hari, dengan jalan cerita yang utuh. Untuk keperluan ini, mereka kerap menghadirkan beberapa penari perempuan sebagai daya tariknya. Honorarium untuk kelompok ini biasa mematok harga sekitar 5-6 juta rupiah.[3] Pertunjukan ini dibagi menjadi tiga bagian.[4] Bagian pertama, seorang rois memberikan aba-aba kepada penari untuk melakukan penghormatan. Bagian kedua, bagian ini merupakan inti dari pertunjukan dimana terdapat salah satu penari yang mengalami intrance. Kemudian pada bagian akhir rois kembali memberikan aba-aba kepada penari untuk memberikan salam penutup.

Fungsi pertunjukan

Periode Pertama

Kesenian Panjidur pada periode pertama berfungsi sebagai tuntunan, media dakwah, dan syiar agama Islam, sehinga dalam penyajiannya hanya menggunakan busana dan rias yang sederhana. Busana yang dipakai pada masa periode pertama yaitu celana hitam kain, baju putih, srempang, slepe dan topi (pet).[4]

Periode Kedua

Periode kedua kesenian Panjidur telah mengalami sedikit perkembangan. Fungsi dari kesenian Panjidur pada periode kedua ini telah bergeser atau berkembang dari dakwah syiar agama Islam menjadi hiburan.[4]

Periode Ketiga

Periode ketiga sampai sekarang kesenian Panjidur selain berfungsi sebagai media dakwah, juga berfungsi sebagai hiburan.[4]

Isi cerita

Cerita utamanya adalah permusuhan antara Wong Agung Jayeng Rana yang beragama Islam dengan Prabu Nursewan yang belum memeluk agama Islam.[2] Sehingga cerita yang melatarbelakangi banyak berasal dari kisah kepahlawanan atau heroisme, penaklukan perang oleh pasukan paserbumi sebagai prajurit perang dalam kesenian Panjidor.

Referensi

  1. ^ a b "Kesenian Panjidor ยป Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-03-27. 
  2. ^ a b "Kesenian Panjidor Yogyakarta - Informasi Budaya Jawa Kesenian Panjidor Yogyakarta". Informasi Budaya Jawa. 2018-12-12. Diakses tanggal 2019-03-27. 
  3. ^ a b Media, Harian Jogja Digital (2015-05-21). "Tari Tradisional: Panjidur Langen Kridotomo, Simbol Semangat Juang Generasi Muda". Harianjogja.com. Diakses tanggal 2019-03-27. 
  4. ^ a b c d Sayuti, Suminto A.; Ratmoko, Suhari (2018). "Perkembangan Fungsi dan Bentuk Penyajian Kesenian Panjidur Langen Krido Tomo di Dusun Jambon Donomulyo Nanggulan Kulonprogo". Pendidikan Seni Tari - S1. 7 (2).