Momuhuto

Upacara Momuhuto atau siraman merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh suku Gorontalo sejak zaman dahulu. Upacara Momuhuto memiliki makna pembersihan diri pengantin putri baik jasmani (bau yang kurang enak) maupun rohani (seperti pembinaan keagamaan, mental, dan sopan santun sebagai istri). Awalnya upacara Momuhuto dilaksanakan 40 hari sebelum pernikahan, namun seiring dengan perkembangan upacara ini dilaksanakan selama satu hari saja.[1]

Prosesi upacara

Upacara Momuhuto dilaksanakan melalui empat tahapan, yaitu momonto, molungudu, momuhuto, dan mopoduta'a to Pingge[1].

Momonto

Momonto artinya memohon restu dan berkah dari para leluhur dan ridho Allah SWT atas keselamatan pengantin dan keluarga dalam pelaksanaan pernikahan nanti. Momonto merupakan pemberian bonto pada dahi, bahu, lengan, dan kaki pengantin putri[1]

Molungudu

Molungudu secara harfiah berarti mandi uap secara tradisional untuk mengeluarkan keringat yang berbau dari tubuh seorang calon pengantin baru. Molungudu dilakukan menggunakan sejumlah ramuan tradisional yang digunakan dalam proses ini. Molungudu memiliki makna bahwa seorang gadis (tadulahu) memikliki tanggung jawab untuk menjaga kesehatan tubuh dan penampilan.[1][2]

Momuhuto

Momuhuto merupakan kegiatan memandikan calon pengantin putri dengan air harum/kembang (tahulu monu). Acara ini dilaksanakan setelah pengantin putri mengeringkan badan setelah mandi uap - sebelumnya memandikan calon pengantin putri dengan harum/kembang (talihu monu) yang diawali penyiraman oleh kedua orang tua putri dilanjutkan secara bergilir oleh pemangku adat.[1] Prosesi Momuhuto memiliki makna pembersihan diri baik secara lahir maupun spiritual, yang dikaitkan dengan tata cara mandi janabah.[2]

Mopoduta'a to Pingge

Mopoduta'a to Pingge atau injak piring adalah prosesi terakhir pada upacara Momuhuto. Pengantin putri, dibimbing hulango (dukun wanita), harus melintasi dan menginjak tujuh buah piring berisi tanah, hasil bumi, dan dedaunan dan tidak boleh pecah. Apabila pecah, kaki pengantin akan terluka dan tidak sampai ke tujuan.[1] Simbolisasi Mopoduta'a to Pingge digambarkan melalui tanah, hasil bumi, dan dedaunan. Menginjak piring yang tidak boleh pecah bermakna meniti masa depan yang hati-hati. Kehati-hatian tersebut disimbolkan melalui tanah, hasil bumi, dan dedaunan.[2] Tanah menggambarkan sikap rendah hati, hasil bumi menggambarkan kehidupan, dan dedaunan menggambarkan kesehatan.[2]

Referensi

  1. ^ a b c d e f Dwiari Ratnawati, Lien (2018). Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan, Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan RI.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  2. ^ a b c d AP, Sofyan (2020). Islam dan Budaya Lokal Adat Gorontalo. Malang: Inteligensia Media. hlm. 115–117. ISBN 978-623-7374-44-2.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)