Islam di Kepulauan Riau

Islam di Kepulauan Riau berkembang sejak masa pemerintahan Kesultanan Lingga. Masyarakat muslim di Kepulauan Riau menerapkan syariat Islam khususnya dalam hukum waris. Masyarakat Kepulauan Riau terpengaruh oleh Tarekat Naqsyabandiyah. Di Kepulauan Riau terdapat beberapa mushaf Al-Qur'an tulisan tangan. Mushaf ini disimpan di Pulau Penyengat dan Pulau Lingga.

Syariat Islam

Syariat Islam khususnya hukum waris memiliki kesamaan dengan hukum adat Suku Melayu di Kepulauan Riau. Kesamaan ini membuat hubungan kewarisan antara seeseorang dengan orang lainnya ditentukan oleh perkawinan dan nasab. Perkawinan ditentukan oleh aturan pernikahan yang sah dalam Islam. Acuannya adalah ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis sahih dari Nabi Muhammad.[1]

Tarekat

Tarekat Naqsyabandiyah

Tarekat Naqsyabandiyah mulai berkembang di Kepulauan Riau pada masa pemerintahan Kesultanan Lingga. Sultan Abdurrahman Syah mengirim dua anggota keluarga Kerajaan Lingga untuk menunaikan haji di Haramain sebagai bentuk penunaian nazar. Keduanya adalah Raja Ahmad dan Raja Ali Haji. Mereka berangkat ke Haramain bersama dengan dua belas orang lainnya dalam satu rombongan. Sembari menunaikan haji, rombongan ini juga mengadakan rihlah dan silaturahmi dengan para jemaah haji lainnya.[2]

Raja Ahmad adalah penasihat Sultan Abdurrahman Syah dan Yang Dipertuan Muda Riau VI, Raja Ja'far. Keberangkatannya ke Haramain untuk menunaikan haji dan belajar telah memberikan kesempatan bagi Tarekat Naqsyabandiyah untuk berkembang di Kepulauan Riau khususnya di wilayah Kesultanan Lingga.[3] Raja Ahmad dan rombongannya tiba di Jeddah pada tahun 1243 H atau 1826 M. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah untuk menunaikan haji. Kedatangan mereka memperoleh sambutan dari para ulama Tarekat Naqsyabandiyah. Mereka kemudian berguru kepada ulama Tarekat Naqsyabandiyah yang berada di Makkah dan Madinah. Dua diantaranya adalah Ismail al-Khalidi dan Muhamad Shalih az-Zawawi.[4]

Peninggalan bersejarah

Mushaf Al-Qur'an

Penyalinan mushaf Al-Qur'an telah dilakukan oleh para ulama dari wilayah Kepulauan Riau.[5] Manuskrip-manuskrip Al-Qur'an ditemukan di Pulau Penyengat dan Pulau Lingga. Manuskrip Al-Qur'an di Pulau Penyengat berjumlah tujuh manuskrip. Penyimpanannya terbagi antara Masjid Raya Sultan Riau dan Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu. Sedangkan di Pulau Lingga terdapat 10 manuskrip. Sembilan manuskrip disimpan di Museum Linggam Cahaya dan satu manuskrip menjadi koleksi pribadi dari seorang penduduk lokal bernama Maharani.[6]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Thamrin, Husni (2018). Khairunisa, Madona, ed. Antropologi Melayu (PDF). Sleman: Kalimedia. hlm. 71. ISBN 978-602-6827-87-6.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  2. ^ Faisal 2019, hlm. 14.
  3. ^ Faisal 2019, hlm. 14-15.
  4. ^ Faisal 2019, hlm. 15.
  5. ^ Rahmawati 2019, hlm. 3-4.
  6. ^ Rahmawati 2019, hlm. 4.

Daftar pustaka

  • Faisal, Muhammad (2019). Saepuddin dan Septian, D., ed. Etika Melayu: Pemikiran Moral Raja Ali Haji (PDF). Bintan: STAIN Sultan Abdurrahman Press. ISBN 978-623-90371-9-2.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Rahmawati, Dian (2019). Saepuddin dan Septian, D., ed. Manuskrip Al-Quran Pulau Penyengat sebagai Khazanah Mushaf Al-Quran di Kepulauan Riau (PDF). Bintan: STAIN Sultan Abdurrahman Press. ISBN 978-623-91002-3-0.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)