Insiden penyerempetan kapal Indonesia dan Malaysia 2005

Insiden penyerempetan kapal Indonesia dan Malaysia 2005 terjadi pada Jumat, 8 April 2005 pagi, ketika KRI Tedong Naga (819) milik Indonesia menyerempet Kapal Diraja Rencong milik Malaysia sebanyak tiga kali di perairan Karang Unarang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Aksi tersebut terpaksa dilakukan karena KD Rencong berkali-kali melakukan manuver yang membahayakan pembangunan mercusuar Karang Unarang.

Prainsiden

Insiden penyerempetan kedua kapal ini merupakan bagian dari pertikaian perbatasan di kawasan Ambalat yang kaya minyak dan gas. Petronas, perusahaan minyak Malaysia, secara sepihak memberikan konsensi kepada perusahaan minyak Shell di Blok Ambalat (Malaysia mengenalnya sebagai Blok XYZ).

Malaysia mengklaim wilayah Ambalat adalah miliknya, menurut peta yang diterbitkan pemerintah Malaysia tahun 1979. Peta tersebut memicu protes dari berbagai negara tetangganya, termasuk Indonesia.

Indonesia memprotes klaim sepihak itu dan memperketat keamanan di perairan Ambalat dengan menempatkan sejumlah kapal perang. Kemudian Indonesia juga merencanakan pembangunan mercusuar di Karang Unarang supaya lebih memperkuat kedaulatannya di sekitar perbatasan itu. Beberapa kali kapal perang Indonesia berhadapan dengan kapal perang Malaysia di perairan Karang Unarang. Puncak ketegangan adalah insiden penyerempetan ini.

Detail insiden

Sebelumnya, KRI Tedong Naga sudah berkali-kali memperingatkan KD Rencong agar segera meninggalkan wilayah perairan Karang Unarang. Namun, peringatan tersebut tidak dihiraukan kerana KD Rencong menganggap pembinaan di mercusuar adalah merusak kedaulatan Malaysia. Bahkan, KD Rencong melakukan manuver-manuver yang membahayakan pembangunan mercusuar. Misalnya, kapal tersebut melaju cepat sehingga menimbulkan gelombang tinggi di sekitar lokasi pembangunan mercusuar. Akhirnya, KRI Tedong Naga mendekati KD Rencong untuk mengusir keluar dari wilayah perairan yang dipertikaikan.

Dalam upaya tersebut terjadi tiga kali serempetan yang menyebabkan lambung sebelah kanan kapal Malaysia yang umurnya sudah tua dan berkarat di beberapa bagian itu rusak. Sedangkan KRI Tedong Naga hanya tergores catnya di bagian lambung sebelah kiri. KD Rencong kemudian bergerak menuju pangkalannya di Tawau, Malaysia.

Pasca insiden

Sehari setelah insiden, tak terlihat lagi kapal perang Malaysia yang memasuki kawasan perairan yang dipersengketakan itu.

Sedangkan pada hari Minggu, dua hari setelah insiden, hanya terlihat sebuah kapal patroli polisi Malaysia yang berlayar normal sekitar 3 mil dari perairan Karang Unarang. KRI Tedong Naga yang pada pagi hari kembali mulai melakukan patroli bersama KRI Hiu tidak mengalami gangguan dari kapal-kapal Malaysia.

Tanggapan

Indonesia

Menurut Kepala Staf Gugus Tempur Laut Armatim Kolonel Laut Marsetio, tindakan Komandan KRI Tedong Naga memutuskan untuk menghalau KD Rencong adalah benar, karena kapal itu sudah memasuki 9,5 mil laut dari Pulau Batik, yang termasuk wilayah yang dipertikaikan.

Pihak Indonesia mengklaim bahwa tindakan itu dibenarkan juga berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982 yang menyatakan bahwa suatu negara berwenang untuk mengusir suatu kekuatan asing apabila ia mulai mengganggu kedaulatan suatu negara.

Pada 12 April, pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri telah mengirimkan nota protes resmi kepada Malaysia atas peristiwa penyerempetan kedua kapal.

Malaysia

Sedangkan Angkatan Laut Malaysia membantah bahwa salah satu kapal perangnya bertabrakan dengan kapal perang Indonesia di perairan sekitar Karang Unarang. Menurut Kepala AL Malaysia, kedua kapal itu hanya bersentuhan satu sama lain serta tidak ada seorang pun yang terluka dan tidak ada kerusakan pada kapal tersebut.

Pada 13 April, Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi menyatakan pemerintahnya tidak akan menarik mundur kapal perangnya dari perairan Ambalat. Menurut Badawi, Malaysia mempunyai alasan yang kuat untuk mempertahankan kedaulatan di Ambalat yang dianggapnya sebagai wilayah Malaysia.

Malaysia tidak pernah mengakui klaim Indonesia terhadap kawasan tersebut, dengan itu Malaysia menganggap bahwa UNCLOS 1982 tidak boleh diterapkan dalam kejadian ini.

Artikel di KOMPAS

Berkaitan dengan itu pula surat kabar KOMPAS mengeluarkan berita bahwa Menteri Pertahanan Malaysia telah memohon maaf berkaitan perkara tersebut. Berita tersebut segera disanggah oleh Menteri Pertahanan Malaysia yang menyatakan bahwa kawasan tersebut adalah dalam kawasan yang dituntut oleh Malaysia, dengan itu Malaysia tidak mempunyai sebab untuk memohon maaf kerana berada dalam perairan sendiri. Sejajar dengan itu, Malaysia menimbang untuk mengambil tindakan undang-undang terhadap surat kabar KOMPAS yang dianggap menyiarkan informasi yang tidak benar dengan sengaja.[1]Diarsipkan 2007-03-11 di Wayback Machine.

Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo kemudian membuat permohonan maaf dalam sebuah berita yang dilaporkan di halaman depan harian tersebut pada 4 Mei 2005, di bawah judul Kompas dan Deputi Perdana Menteri Malaysia Sepakat Berdamai.[2] Diarsipkan 2006-02-12 di Wayback Machine.

Tindakan lanjut

Kedua pihak setuju untuk merundingkan perkara tersebut dan menimbang untuk melaksanakan patroli bersama di kawasan yang dipersengketakan. Terdapat juga kemungkinan perkara tersebut akan dibahas di pengadilan internasional. Bagaimanapun juga masih belum ada keputusan mutlak yang diambil hingga kini.[3] Diarsipkan 2005-10-27 di Wayback Machine.