Hak digital

Hak
Perbedaan teoretis
Hak asasi manusia
Berdasarkan penerima
  • Anak-anak
  • Buruh
  • Difabel
  • Hewan
  • Interseks
  • LGBT
  • Manusia
  • Minoritas
  • Penduduk asli
  • Perempuan
Kelompok hak lainnya
  • l
  • b
  • s
Internet
Visualization of Internet routing paths
Sebuah visualisasi Opte Project dari jalur routing melalui sebagian dari Internet
Umum
Panduan
  • Wikipedia book Buku
  • List-Class article Indeks
  • Garis besar
 Portal Internet
  • l
  • b
  • s

Hak digital (bahasa Inggris: digital rights) merupakan bagian dari hak asasi manusia (human rights).[1] Setiap orang dimanapun ia berada dijamin untuk dapat mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan hal yang berbau digital atau media digital.[2] Setiap orang berhak untuk menikmati dan menggunakan sebebas-bebasnya terkait media digital selama tidak melanggar aturan yang ada.[3] Hak digital juga bisa diartikan sebagai pelaksanaan hak asasi manusia di dunia digital, yaitu mengekspresikan diri secara aman, pribadi atau privat, terjamin dan itu berkelanjutan. Sehingga setiap orang tak dapat diganggu atau dibatasi aksesnya dalam penggunaan media digital.[4]

Definisi

Hak digital adalah hak asasi manusia bagi setiap orang yang memungkinkan ia menggunakan, membuat, dan mempublikasikan media digital atau untuk mengakses dan menggunakan komputer, perangkat elektronik lainnya serta jaringan telekomunikasi. Hak digital ini juga berarti hak hukum.[5] Beberapa negara mengakui hak tersebut dan diimplementasikannya dalam hukum positif.[6] Hak ini idealnya melekat pada diri setiap orang yaitu ia sebagai pelaku digital. Dalam menggunakan haknya, mereka harus dijamin dari rasa takut, direpresi, dipersekusi atau dilarang-larang oleh siapa saja.[3] Hak digital ini tidak memandang jenis kelamin, usia, ras, gender, dan lain sebagainya.[4] Hakikatnya, hak digital meliputi kegiatan dalam jaringan atau online seperi hak untuk mengakses informasi (right to access), hak untuk berekspresi (right to express), dan hak atas rasa aman (right to be safe).[1]

Jaminan

Pada 2012, Dewan Hak Asasi Manusia PBB sepakat jika “hak yang dipunyai orang secara luring pula wajib dilindungi secara daring”. Perihal ini menampilkan jika PBB merekomendasikan guna memperluas HAM ke dunia maya tanpa wajib mendefinisikannya selaku hak-hak baru.[7]

88 rekomendasi yang dibuat oleh Pelaporan Khusus tentang pemajuan dan perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam laporan Mei 2011 kepada Dewan Hak Asasi Manusia dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa termasuk beberapa yang berkaitan dengan masalah akses Internet.[8] Rekomendasi ini telah mengarah pada saran bahwa akses Internet itu sendiri adalah atau seharusnya menjadi hak asasi manusia yang mendasar.[9][10]

Di luar negeri

Kosta Rika melalui Putusan Mahkamah Agung 30 Juli 2010 menyatakan, "Tanpa takut akan keraguan, dapat dikatakan bahwa teknologi ini [teknologi informasi dan komunikasi] telah mempengaruhi cara manusia berkomunikasi, memfasilitasi hubungan antara orang dan institusi di seluruh dunia dan menghilangkan hambatan ruang dan waktu. Saat ini, akses ke teknologi tersebut menjadi alat dasar untuk memfasilitasi pelaksanaan hak-hak dasar dan partisipasi demokrasi (e-demokrasi) dan kontrol warga, pendidikan, kebebasan berpikir dan berekspresi, akses informasi dan publik layanan daring, hak untuk berkomunikasi dengan pemerintah secara elektronik dan transparansi administratif, antara lain. Ini termasuk hak dasar untuk mengakses teknologi ini, khususnya, hak akses ke Internet atau World Wide Web".[11]

Pada 2000, Parlemen Estonia meluncurkan program besar-besaran untuk memperluas akses ke pedesaan. Menurut pendapat pemerintah, internet sangat penting bagi kehidupan di abad ke-21.[12]

Menurut Kementerian Transportasi dan Komunikasi Finlandia pada Juli 2010, setiap orang di Finlandia harus memiliki akses ke koneksi broadband satu megabit per detik, dan pada tahun 2015, akses ke koneksi 100 Mbit/s.[13]

Dewan Konstitusi Prancis selaku pengadilan tertinggi negara tersebut menyatakan pada bulan Juni 2009, bahwa akses ke Internet sebagai hak asasi manusia dalam keputusan tegas yang melanggar bagian dari hukum HADOPI. Hukum HADOPI adalah kewenangan pemerintah melalui undang-undang yang akan melacak pelaku dan tanpa peninjauan kembali dan secara otomatis memutus akses jaringan bagi mereka yang terus mengunduh materi terlarang setelah dua kali peringatan.[14]

Pasal 5A dari Konstitusi Yunani menyatakan bahwa semua orang berhak untuk berpartisipasi dalam Masyarakat Informasi dan bahwa negara berkewajiban untuk memfasilitasi produksi, pertukaran, penyebaran, dan akses ke informasi yang dikirimkan secara elektronik.[15]

Mulai tahun 2011, Telefónica, perusahaan telekomunikasi bekas monopoli negara yang memegang kontrak "universal service", harus menjamin untuk menawarkan koneksi internet dengan harga "cukup" setidaknya satu megabyte per detik di seluruh Spanyol.[16]

Di Indonesia

Indonesia melalui UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".[17]

Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia pun menyatakan, "Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa, dan umat manusia; berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya; mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia."[18]

Undang-Undang tentang Pelindungan Data Pribadi juga sedang berada di Prolegnas.[19]

Pelanggaran hak digital

Pemahaman mengenai sumber dan hak cipta digital menjadi komponen penting dalam segi teknologi berkaitan dengan pembuatan model konten digital.[20] Teknologi digital di sisi lain mengubah hak dasar setiap orang seperti kebebasan berekspresi dan akses informasi. Akses masyarakat terhadap kemajuan teknologi digital melahirkan masyarakat yang terbiasa menggunakan teknologi informasi dalam berbagai aktivitas sosial.[21] Melek teknologi di sinilah menjadi keahlian yang harus dimiliki oleh masyarakat.[22] Dengan teknologi digital, segala hal lebih mudah diakses dan masyarakat juga lebih mudah dalam mengekspresikan diri. Selain itu, masyarakat juga dapat menjadi produsen, distributor, sekaligus konsumen dan penerima manfaat dari kegiatan ekonomi digital.[23] Hal inilah yang menyebabkan hak dan perlindungan digital perlu diatur sesuai dengan perkembangan digital agar memudahkan praktik perlindungan ciptaan itu sendiri.[24][25]

Pelanggaran terhadap hak digital semakin rentan terjadi jika tidak diatur berdasarkan ketentuan hukum yang tetap, misalnya aksi doksing yang dilakukan terhadap oknum pengguna digital.[2] Pelanggaran hak digital merupakan bentuk dari perenggutan kebebasan digital.[26] Setiap orang yang melanggar hak digital orang lainnya dapat dituntut secara hukum. Namun tak semuanya pula, karena keterbatasan peratutan. Hukum digital mengatur tentang ini. Hukum digital merupakan aturan etika dalam penggunaan teknologi digital. Misalnya orang yang melakukan perbuatan doksing dapat dijerat dengan hukum tersebut.[27] Misalnya di Indonesia pelaku doksing dapat di penjara maksimal dua tahun berdasarkan Pasal 17 Huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.[28]

Aturan digital di Indonesia

Banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dapat menjerat para pelanggar hak digital. Itupun digolongkan berdasarkan kriterianya. Setiap kriterian akan dilihat apakah akan memenuhi unsur pada setiap pasal dalam peranturan perundang-undangan yang dilanggar tersebut. Di Indonesia sendiri hukum digital itu dikategorikan menjadi lima, yaitu:

  1. Aspek hak cipta
  2. Aspek merek dagang
  3. Aspek fitnah dan pencemaran nama baik
  4. Aspek privasi
  5. Aspek yurisdiksi dalam ruang siber.[27]

Perlindungan terhadap hal digital terbagi menjadi dua, hal itu terkait perbedan pengertian, yaitu hukum digital dan keamanan Digital. Hukum digital atau aturan yang mengatur etika setiap orang dalam penggunaan tekhnologi digital ditengah-tengah masyarakat. Setiap warga digital harus menyadari bahwa melanggar hak digital orang lain seperti mencuri data dan penyebarluasan data pribadi, maupun perusakan properti digital orang lain dapat dijerat hukum.[27] Sedangkan keamanan digital atau biasa disebut cyber security merupakan aktivitas pengamanan terhadap sumber daya telematik seperti pengamanan data pribadi dan lain sebagainya yang berhubungan dengan digital.[29]

Beberapa cara menguatkan keaman digital agar hal digital tak dilanggar sebagai barikut:

  1. Langganan layanan audit digital
  2. Sediakan tools untuk membuat password yang kuat dan aman
  3. Kelola password pribadi
  4. Gunakan layanan cloud
  5. Phishing bersifat pribadi.[27]

Aturan PBB terkait hak digital

Perserikatan Bangsa-Bangsa (disingkat: PBB) atau United Nations menyatakan bahwa hak digital merupakan perpanjangan dari hak. Hal itu ditetapkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (disingkat: Duham). Tujuan utamanya untuk menjamin akses ke internet, menghindari digital dan penggunaan jaringan yang tepat. Karena kurangnya konsensus internasional menyebabkan setiap negara mengembangkan piagam hak digitalnya masing-masing.[25]

Walau tidak ada penyelarasan aturan yang berakibat setiap negara memiliki aturannya sendiri terkait hak digital ini, PBB memberikan beberapa pedoman umum yang dapat menjadi patokan bagi semua negara:

  1. Akses universal dan setara, bahwa setiap yang harus dapat mengakses internet terlepas dari pendapatan mereka, lokasi geografis atau kecacatan mereka. Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengakui dalam sebuah laporan bahwa hak akses sangat penting untuk kebebasan berpendapat.
  2. Kebebasan berekspresi, informasi dan komunikasi, bahwa hak asasi manusia dasar ini terancam di internet ketika pemerintah memblokir situs web atau jejaring sosial yang merupakan pelanggaran terhadap hak untuk berkomunikasi dan berserikat bebas, atau menyensor konten, yang bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan informasi.
  3. Privasi dan perlindungan data, barga negara harus memiliki kendali atas siapa yang menyimpan data pribadi mereka dan dapat menghapusnya kapan saja. Hak privasi terancam di Internet oleh pencurian kredensial, perampasan data pribadi dan penggunaannya untuk keuntungan finansial, dan lain sebagainya.
  4. Hak atas anonimitas, bahwa hak atas anonimitas dan enkripsi komunikasi sangat terancam di negara-negara yang melarang pengiriman pesan dan komunikasi terenkripsi, yang diperlukan untuk transaksi yang andal dan aman di Internet.
  5. Hak untuk dilupakan, bahwa hak untuk menghapus informasi pribadi seseorang dari pencarian, basis data, dan direktori Internet. Saat ini diakui oleh UE dalam GDPR sebagai 'hak untuk menghapus' dan telah diterapkan di negara lain seperti Argentina, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan India.
  6. Perlindungan anak di bawah umur, bahwa pemerintah tidak hanya harus memastikan perlindungan anak-anak di Internet, seperti dalam kasus pornografi anak, tetapi juga memastikan bahwa perusahaan menyediakan sarana untuk menjamin akses yang aman tanpa melanggar hak-hak anak.
  7. Hak milik intelektual, bahwa penulis harus dijamin pengakuan atas karya seni atau sastra mereka dan hak untuk mendapatkan imbalan atas penggunaannya, sambil menjamin akses gratis ke karya-karya yang sudah ada dalam domain publik.[25]

Aturan UE terkait hak digital

Uni Eropa (UE) mengusulkan kerangka kerja bersama hak atas perlindungan data pribadi tersebut terhadap negara yang berada dibawah naungannya. Misalnya, Regulasi Perlindungan Data Umum (GDPR) yang mulai berlaku pada tahun 2018. Aturan itu mewajibkan negara-negara anggota untuk menjaga data pribadi warga negara dan mengizinkan pergerakan data secara bebas.[30]

Kondisi

Laporan Freedom House on the Net 2018 merumuskan jika ada indikasi otoritarianisme digital yang tidak hanya terjalin di Indonesia, tetapi pula di seluruh dunia. Keadaan ini dibuktikan dengan upaya bermacam Pemerintah di seluruh dunia dalam memperketat kontrol atas informasi publik serta memakai klaim “kabar palsu” guna menekan perbandingan komentar menyusut dalam tahun kedelapan berturut- turut semenjak 2010.[31]

SAFEnet menyatakan bahwa situasi hak digital Indonesia waspada pada 2018,[32][33] dan pemenuhan hak digital kian memburuk serta mendekati otorianisme di tahun 2020.[34][35]

Referensi

  1. ^ a b Kurniawan, Dima Ekzan (23 Januari 2021). "Hak Digital Juga Hak Asasi Manusia". Kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-12. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  2. ^ a b "Pengamat Sebut Kondisi Hak Digital Di Indonesia 'Waspada'". CNN Indonesia. 28 Jun 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-12. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  3. ^ a b Sugeng Winarno (22 September 2019). "Melindungi Hak Digital". Drone Empirit Academic Universitas Islam Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-12. Diakses tanggal 11 November 2021. 
  4. ^ a b Kathleen Azali (10 Desember 2020). "Apa itu Hak Digital?". Coconet (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-30. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  5. ^ "BBC NEWS | Special Report | 1998 | Encryption | Digital freedom: the case for civil liberties on the Net". news.bbc.co.uk. 4 Maret 1999. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-03. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  6. ^ Lucchi, Nicola (6 Februari 2011). "Access to Network Services and Protection of Constitutional Rights: Recognizing the Essential Role of Internet Access for the Freedom of Expression". Cardozo Journal of International and Comparative Law (JICL) (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY. 19 (3). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-17. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  7. ^ Lena Nitsche, Kate Hairsine (12 September 2019). "What are digital rights?". dw.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-08. Diakses tanggal 9 November 2021. 
  8. ^ "VI. Conclusions and recommendations" Diarsipkan 2012-04-02 di Wayback Machine., Report of the Special Rapporteur on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression, Frank La Rue, Human Rights Council, Seventeenth session Agenda item 3, United Nations General Assembly, 16 May 2011
  9. ^ Best, Michael L. (2004). "Can the Internet be a Human Right?" (PDF). 4. Human rights & Human Welfare. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2020-10-29. Diakses tanggal 23 November 2021. 
  10. ^ Kravets, David (3 Juni 2011). "U.N. Report Declares Internet Access a Human Right". Wired. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-03-24. Diakses tanggal 23 November 2021. 
  11. ^ "Judgement 12790 of the Supreme Court (File 09-013141-0007-CO)". 200.91.68.20. 30 Juli 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-12-17. Diakses tanggal 17 November 2021. 
  12. ^ Woodard, Colin (1 Juli 2003). "Estonia, where being wired is a human right". Christian Science Monitor. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-22. 
  13. ^ Reisinger, Don (14 Oktober 2009). "Finland makes 1Mb broadband access a legal right". news.cnet.com. CNet News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-10-25. Diakses tanggal 17 November 2021. 
  14. ^ "Top French Court Declares Internet Access 'Basic Human Right'". London Times. Fox News. 12 June 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-15. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  15. ^ Constitution of Greece As revised by the parliamentary resolution of May 27th 2008 of the VIIIth Revisionary Parliament Diarsipkan 2017-11-14 di Wayback Machine., English language translation, Hellenic Parliament
  16. ^ Sarah Morris (17 November 2009). "Spain govt to guarantee legal right to broadband". Reuters. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-25. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  17. ^ Pasal 28F, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  18. ^ Pasal 13 & 14, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  19. ^ "RUU tentang Pelindungan Data Pribadi". dpr.go.id. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 17 Desember 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-05. Diakses tanggal 9 November 2021. 
  20. ^ Sulianta, Feri (2020). Menciptakan Produk Pendidikan Menggunakan Metode R&D: Disertai Langkah Demi Langkah Pengembangan Model Pembelajaran Literasi Digital. Buku elektronik. hlm. 69. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2021-12-07.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  21. ^ Feriyansyah, dkk (2019). Kewargaan Digital: Warga Digital dalam Kepungan Hiperkoneksi. Medan: Yayasan Kita Menulis. hlm. 6. ISBN 9786239153601. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2021-12-07.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  22. ^ Sulianta, Feri (2020). Literasi Digital, Riset, dan Perkembangannya dalam Perspektif Social Studies. Buku elektronik. hlm. 1. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2021-12-07.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  23. ^ Suleiman, Ajisatria (2020). Jaring Pengamanan Digital: Kesejahteraan Rakyat dan Hak Warga Negara di Era Disrupsi Disertai 29 Rekomendasi Kebijakan Konkret. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hlm. 18. ISBN 9786020648569. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-13. Diakses tanggal 2021-12-07.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  24. ^ Riswandi, Budi Agus, dkk (2017). Pembatasan dan Pengecualian Hak Cipta di Era Digital. Bandung: Citra Aditya Bakti. hlm. 26. ISBN 9789794911068.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  25. ^ a b c "Digital rights, essential in the Internet age". Iberdrola (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-05. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  26. ^ Setiawan (25 Oktober 2020). "Melawan pelanggaran hak-hak digital | Indotelko". www.indotelko.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-12. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  27. ^ a b c d Susi (16 September 2019). "Perbedaan Hukum Digital dan Keamanan Digital". Tribratanews Kepri. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-12. Diakses tanggal 11 November 2021. 
  28. ^ alihusman. "SANKSI BAGI PELAKU DOXING". BPSDM Hukum dan HAM (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-12. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  29. ^ Widiasmara, Hanan (24 Januari 2021). "Pentingnya Keamanan Digital di Era Revolusi Industri 4.0". Kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-12-04. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  30. ^ European Union (2016a). "Regulation (EU) 2016/679 of the European Parliament and of the Council of 27 April 2016 on the protection of natural persons with regard to the processing of personal data and on the free movement of such data, and repealing Directive 95/46/EC (General Data Protection Regulation) (Text with EEA relevance)". Official Journal of the European Union. L 119 (dalam bahasa Inggris). Brussels: Publication Office. 59: 1–88. ISSN 1977-0677. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-06-28. Diakses tanggal 2021-11-23. 
  31. ^ Shahbaz, Adrian. "The Rise of Digital Authoritarianism". freedomhouse.org. Freedom House. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-26. 
  32. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-10-08. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  33. ^ "Pengamat Sebut Kondisi Hak Digital Di Indonesia 'Waspada'". CNN Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-12. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  34. ^ "Laporan Situasi Hak-Hak Digital Indonesia Tahun 2020: Represi Digital di Tengah Pandemi – SAFEnet". id.safenet.or.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-13. Diakses tanggal 2021-11-17. 
  35. ^ Guritno, Tatang (2021-04-21). Prabowo, Dani, ed. "Safenet: Situasi Pemenuhan Hak Digital di Indonesia Semakin Mendekati Situasi Otoritarianisme". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-11-17. Diakses tanggal 2021-11-17.